BAB
I
PENDAHULUAN
A.
RUMUSAN
MASALAH
Hukum Islam telah ada semenjak dahulu yakni semenjak zaman Rasulullah. Waktu
yang telah dilaluinya tidaklah pendek, namun sangat panjang yakni sekitar 14
abad lamanya. Di sisi lain, Hukum Islam tetap bertahan dan lulus dalam
menghadapi berbagai latar keadaan dan tempat yang berbeda-beda serta tetap
releven dengan perubahan zaman.
Hal ini mendorong ketertarikan banyak ahli
baik dari orang Islam sendiri maupun orang di luar Islam untuk mengkajinya
lebih jauh sehinga saat ini sangat banyak buku-buku yang berkaitan tentang
Hukum Islam dan salah satunya ialah mengenai Filsafat Hukum Islam.
Buku Filsafat Hukum Islam cukup banyak kita
temukan saat ini, namun pembahasan kesejarahannya sangat jarang kita temukan.
Karena dengan mengetahui sejarahnya kita bisa mengerti alur perkembangan dari
filsafat Hukum Islam tersebut sekaligus sedikit banyak memahami perkembangan
kebutuhan hukum yang terjadi dan bagaimana menyelesakannya. Maka dari itu, akan
cukup bermanfaat bilamana kita mencoba kembali memetakan sejarah perkembangan Filsafat
Hukum Islam, tidak hanya teorinya saja, namun dari segi pengamalannya pun juga.
Kapan sebenarnya kegiatan atau kata filsafat
tersebut mulai ada di dalam agama Islam tersebut sehingga memunculkan kajian Filsafat
Hukum Islam, apakah ketika Hukum Islam tersebut muncul ataukah ketika kaum
muslimin mulai menterjemahkan karya-karya filosof yunani? Menarik rasanya kita
mengkoreksinya.
B.
LATAR
BELAKANG
Berdasarkan dari rumusan maalah di atas,
pemakalah dapat menyimpulkan beberapa
bahasan yang akan menjadi pokok bahasan kita pada makalah ini yaitu:
1. Kapan istilah Filsafat muncul di agama Islam yang berkaitan dengan hukum?
2. Bagaimana interpretasi Filsafat terhadap perkembangan Hukum Islam?
3. Bagimana pertumbuhan dan perkembangan Filsafat Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
Kata Filsafat merupakan bahasa Yunani “Philosophia”
yang berasal dari kata-kata Philein, philos, atau phila yang artinya cinta, keinginan atau
mengutamakan dan Sophia yang berarti hikmah atau
kebijaksanaan.[1]
sedangkan secara terminologi seperti dikatakan Harun Nasution sebagai kegiatan
berfikir secara tertib dengan bebas dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai
ke dasar-dasar persoalan.[2]
Dalam bahasa Arab, filsafat juga diartikan dengan Hikmah karena makna
hikmah adalah pengetahuan atau kebijaksanaan dan hikmah artinya ialah
menghalangi orang untuk berperilaku buruk dan rendah.[3]
Hal ini sesuai dengan salah satu makna dari istilah filsafat yang dikemukakan
para ahli yaitu nama bagi orang yang mencintai kebijaksanaan dan berusaha untuk
meraihnya.[4]
Sedangkan kata hukum berarti suatu kumpulan aturan yang diakui oleh
masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat baginya.[5]
Sedangkan kata Islam merupakan nama dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Sehingga jika dirangkai dengan kata Islam, maka akan berarti “suatu kumpulan
aturan yang berdasarkan agama yang dibawa Nabi Muhammad (Islam) dan diakui oleh
suatu masyarakat atau bangsa negara yang mengikat bagi mereka.”
Maka dapat dikatakan bahwa Filsafat Hukum
Islam merupakan Hukum Islam yang difilsafatkan. Jika kita melihat filsafat itu
sendiri, terdapat dua dimensi yaitu filsafat sebagai ilmu atau sumber ilmu dan
filsafat sebagai suatu metode. Filafat jika ditinjau dengan suatu ilmu atau
sumber ilmu serta digandengkan dengan kata Hukum Islam maka dapat diberikan
pengertian pembahasan Hukum Islam yang dianalisis secara filosofis yakni secara
radikal, universal, bernilai dan sederet sifat filsafat lainnya.
Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat
sebagai suatu metode, maka Filsafat Hukum Islam dapat diartikan sebagai
kegiatan pengkajian, penggalian dan pengamalan Hukum Islam yang bersifat
Filosofis.
Namun di sisi lain, filsafat sendiri yang oleh
sebagian umat Islam dikelompokan menjadi Filsafat Kebaratan dan Filsafat
Ketimuran. Artinya filsafat kembali dikotak-kotakan berdasarkan tempat
berkembangnya atau sifat khas yang dimilikinya. Filsafat Ketimuran misalnya
lebih mementingkan norma dalam pengkajiannya termasuk Filsafat Islam.
B. FILSAFAT DALAM HUKUM ISLAM
Kegiatan Filsafat di dalam Islam telah membawa
banyak dampak dalam agama ini. Begitu juga halnya dengan Hukum Islam, walaupun
filsafat baru dikenal ketika terjadi penerjemahan buku-buku asing termasuk buku
filsafat di zaman dinasti Umayyah maupun Abbasiyyah, namun sikap dan kegiatan
berfilsafat telah ada sejak pertama dalam Islam. Kita lihat wahyu pertama yang
diturunkan memerintahkan untuk membaca tanpa menyebutkan objeknya, hanya
menyebutkan metodenya menunjukan sikap yang filsafatis. Allah berfirman:
اقْرَأْ بِاسْمِ
رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ,خَلَقَ الْإِنسَانَ
مِنْ عَلَقٍ,
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ,الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam , Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”[6]
Dari ayat di atas telah diperintahkan untuk
membaca segala sesuatunya dengan tetap berpegang pada agama Allah. Di tempat
lain Allah berfirman:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”[7]
Dari ayat di atas kita dihimbau untuk
senantiasa memikirkan kemaslahatan-kemaslahatan yang terkandung di dalam setiap
hukum Allah. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah memerintahkan kita untuk
menfilsafatkan hukum yang telah diturunkan-Nya.
C. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
Telah dijelaskan di atas bahwa perintah serta
kegiatan berfilsafat telah ada di zaman Rasulullah. Bahkan pernah Rasulullah
menyetujui Mu’adz dikala hendak berijtihad jika tidah tertera jawaban suatu
hukum di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Hadis Mu’adz Ibnu Jabbal ketika Rasulullah
mengutusnya ke yaman untuk menjadi hakim:
قال رسول الله لمعاذ: بم
تقضي؟ قال:بما في كتاب الله.قال:فان لم تجد في كتاب الله
قال اقضي بما قضي به رسول الله.قال:فان لم تجد فيما قضي به رسول الله. قال: اجتهد
برايي. قال: الحمد لله الذي وفق رسول رسوله
Artinya: “Rasulullah
SAW bersabda kepada mu’adz : dengan apa kamu menghakimi? Mu’adz menjawab:
dengan apa yang ada di dalam kitab ALLAH, Rasul bertanya lagi: jika kamu tidak
mendapatkan di dalam kitab ALLAH?, ia menjawab: aku akan memutuskan dengan apa
yang di putuskan Rasulullah, Rasulullah bertanya lagi: jika tidak ada dalam
ketetapan Rasulullah?, mu’adz menjawab: aku akan berijtihad dengan pendapatku.
Kemudian Rasulullah bersabda: aku bersyukur kepada ALLAH yang telah menyepakati
utusan dari rasul-Nya.”
Dari hadits di atas, jelas Rasulullah merestui
Mu’adz untuk berfilsafat dalam hal hukum. Di zaman Khulafa Ar-Rasyidin juga
telah terjadi kegiatan berfilsafat oleh pemegang otoritas penetapan hukum yakni
para khalifah. Diriwayatkan oleh Al-Baghawi dari Maimun bin Mahran
sebagaimana dikutip oleh Dedi Supriyadi yang artinya:
“Abu Bakar apabila diadukan kepadanya
perselisihan ia melihat pada Kitabullah, bila ditemukan hukum yang dapat
memutuskan perkara mereka, ia putuskan dengan hukum tersebut. Akan tetapi bila
tidak mendapatkan dalam kitabullah dan mengetahui
Sunnah Rasulullah tentang hal itu, ia memutuskan dengan sunnah tersebut. Bila
tidak ditemukan juga (dalam sunnah) ia bertanya kepada sahabat; apakah diantara
kalian ada yang tau Rasulullah menetapkan hukum dalam masalah ini?. Terkadang
beliau memperoleh berita bahwa Rasulullah pernah memutuskan perkara seperti itu
dan terkadang tidak. Bila tidak memperoleh, ia mengumpulkan tokoh-tokoh
masyarakat untuk bermusyawarah, bila diperoleh kesepakatan hukumnya, ia
memutuskan dengan hasil kesepakatan tersebut”[8]
Dari riwayat tersebut, jelas terjadi suatu
tindakan filosofis dalam Hukum Islam. Bahkan dikatakan bahwa pada periode ini
merupakan periode terpenting dalam pembentukan hukum. Dalam periode yang
menghabiskan waktu kira-kira tiga puluh tahun ini paling tidak ada dua hal yang
paling penting yaitu; Adaptasi sunnah terhadap teradisi arab dan Pembukuan
Al-Qur’an pada masa Utsman.[9]
Sedangkan menurut Atiah Musyrifah bahwa ada tiga keistimewaan yang menonjol
pada masa Khulafa Al-Rasyidun ini, yaitu kodifikasi ayat-ayat Al-Qur’an dan
penyebarannya, prtumbuhan Tasyri’ berdasar ra’yu dan ijma,
serta pengaturan pengadilan.[10]
Salah satu tokoh yang sangat berperan dalam
periode ini ialah Umar bin Khattab. Dalam menetapkan hukum, Umar sangat tegas,
namun tidak terlalu terpaku kepada nash-nash yang ada seperti dalam kasus
pencurian di masa sulit. Selain itu, pendapatnya juga lebih menjurus kepada Maqashid
Al-Tasyri’ التَّشْرِيْع) (مَقَاصِدُ atau tujuan hukum. Selain itu, Umar lebih mengedepankan
makna batin daripada makna lahir, lebih mengedepankan moral hukum dari pada
logika formal dalam menangkap isyarat-isyarat tertentu dan makna-makna
Al-Qur’an. Lantaran ide-ide kreatifnya itu, Umar diakui baik oleh kalangan
sarjana Muslim maupun oleh kalangan sarjana Non muslim sebagai orang kedua setelah Nabi Muhammad yang paling menentukan
dalam sejarah hukum Islam.[11]
Periode selanjutnya ialah periode dimana
berfilsafat dalam hukum Islam tidak hanya berupa pengamalan biasa atau filsafat
sebagai metode saja, namun telah menjurus pada berfilsafat sebagai suatu ilmu
yang dalam hal ini berkaitan dengan hukum Islam. Hal ini ditandai dengan
perkembangan hukum Islam pada masa Dinasti Umayyah (662-750 H) dan Dinasti
Abbasiyyah (750-1258 H).[12]
tanda dari semaraknya kegiatan berfilsafat terhadap hukum Islam pada periode
ini ialah munculnya berbagai macam kitab-kitab tentang hukum Islam serta
munculnya para filosuf handal dalam bidang hukum (Mujtahid).
Namun pada era selanjutnya, perkembangan
filsafat hukum Islam sekaligus hukum Islam itu sendiri tersendat. Ini terbukti
dengan lemahnya kekuasaan kaum muslimin dan terpecah belahnya kekuatan mereka[13]
sehingga membawa dampak mengendornya perkembangan umat Islam dalam segala
bidang termasuk dalam hal hukum.
Periode selanjutnya ialah periode kebangkitan
kembali hukum Islam yang menandakan kegiatan filsafat dalam hukum Islam kembali
bangkit. Periode ini oleh sebagian ahli dikatakan sejak abad ke-19 hingga
sekarang.[14]
Hal ini ditandai dengan kembali bermunculannya para filosuf dalam bidang hukum
Islam seperti Ibnu Taimiyyah (1263-1328), Ibnu Qayyim Al-Jauziah (1292-1356),
Muhammad ibnu Abdul Wahab (1703-1787), Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897),
Muhammad Abduh (1849-1905) dan lainnya.[15]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kegiatan berfilsafat terhadap hukum Islam
telah ada sejak zaman Rasulullah. Hal ini terbukti dengan restu Rasul yang
diberikan kepada Mu’adz untuk berijtihad yang mana merupakan salah satu bentuk berfilsafat.
Dimasa selanjutnya, yakni masa Khulafa Al-Rasyidin, kegiatan berfilsafat
terhadap hukum Islam semakin jelas sebagaimana yang dilakukan oleh para
khalifah. Hal ini terus berlanjur hingga masa Daulah Umayyah dan Daulah
Abbasiyah.
Namun pada era selanjutnya terjadi perpecahan
diantara mereka disertai sikap mereka yang taklid dan hanya membela golongan
sendiri. Hal ini tentu bertentangan dengan sikap seorang yang filsafatis. Pada
waktu selanjutnya, umat Islam berusaha untuk kembali bangkit dari keterpurukan
dengan ditandai munculnya para filosuf moderen.
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia,
2008.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2005.
Al-Qur’an Al-Karim.
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam; Dari kawasan Jazirah Arab Sampai
Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas
Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2004.
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2005) hlm. 13
[8]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam; Dari kawasan Jazirah Arab Sampai
Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm.71
[9] Ibid,67
[12] Mohd. Idris
Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan
Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
hlm.125