Selasa, 30 Desember 2014

Ulumul Qur'an: Sejarah Turun dan Penulisan Al-Qur'an

MAKALAH

ULUMUL QUR’AN
”SEJARAH TURUN & PENULISAN AL-QUR’AN”



OLEH:
ASHGOR KAMAL
(152 111 004)





FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
MATARAM
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat-Nya yang tiada tara sehingga makalah ini bisa terselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada Nabi akhir zaman, pembawa pelita yang terus terang bendenrang hingga sekarang, yakni Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan kita contoh dan suri tauladan serta bimbingan sehingga kita masih berada dalam aqidah yang diridhai-Nya.
Ulumul Qur’an merupakan salah satu  mata kuliah yang diajarkan pada Institut Agama Islam Negri ( IAIN) MATARAM. Diharapkan agar mahasiswa dapat mengetahui Ulumul Qur’an disertai dengan berbagai macam bahasan yang menyertainya sebagai salah satu dasar untuk memahami kandungan-kandungan Al-Qur’an dengan benar. Salah satu dari bahasan yang dibahas ialah sejarah dari diturunkannya Al-Qur’an serta kodifikasinya. Masalah tersebut akan menjadi pokok bahasan pada makalah ini.
Selanjutnya kami menyampaikan banyak terimakasih kepada saudara karib kerabat serta sahabat yang telah membantu terselesaikannya makalah ini. Akhir kata, mohon ma’af kiranya ada kekurangan yang terdapat dalam makalah ini serta kami pun tetap  mengharapkan keritikan dan saran serta masukan yang membangun dari bapak ibu dosen dan pembaca yang budiman guna menyempurnakan makalah ini. Selain  itu, semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta bias bernilai ibadah di sisi-Nya. Amin.

                                                                                                               Penyusun.

 BAB I
         PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang sangat mulia. Merupakan mukjizat terbesar yang telah diberikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang tidak ada keraguan  padanya serta akan terus terjaga sepanjang zaman hingga akhir masa nanti. Tersusun dengan gaya bahasa yang sangat tinggi serta kandungannya yang sangat hebat, tidak ada yang dapat menandinginya walaupun hanya satu ayat saja sejak dahulu, sekarang, hingga hari akhir nanti. Singkat kata, Al-Qur’an benar-benar kitab suci yang terpelihara sebagai kalam Tuhan yang luar biasa serta berasal dari Tuhan Yang Maha Benar, yakni Allah Azza Wajalla.
Namun demikian, ada saja orang-orang yang tetap menebar berbagai macam fitnah untuk mengotori kesucian dan kemuliaan Al-Qur’an. Mulai dari zaman Nabi Muhammad SAW sendiri dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an itu sebagai karya Nabi Muhammad SAW dan sebagainya, hingga saat ini yang masih meragukan ke-otentik-kan Al-Qur’an dengan mengatakan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, Al-Qur’an banyak mendapat perubahan-perubahan sehingga Al-Qur’an saat ini sama dengan kitab-kitab terdahulu yang terdapat perubahan di dalamnya (tidak otentik).
Menyikapi hal tersebut, perlu kiranya kita menjawabnya dengan tetap menjaga kesucian dan kemuliaan Al-Qur’an. Maka dari itu, kita akan membahas di dalam makalah ini mengenai sejarah penurunan Al-Qur’an, apakah benar Al-Qur’an itu sebagai karya Nabi Muhammad SAW, ataukah tidak? Selain itu, kita juga akan membahas bagaimana perjalanan Al-Qur’an itu terutama masalah kodifikasinya pada masa awal Islam, yakni masalah kodifikasi atau penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW, pada masa Khalifah yang empat, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib atau lebih dikenal dengan Khulafa Al-Rasyidun, serta sejarah Al-Qur’an pada masa setelahnya meliputi masa tabiin, tabit-tabiin dan seterusnya. Hal itu perlu kita bahas untuk mengetahui sejauh mana keotentikan Al-Qur’an.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari paparan di atas, pemakalah dapat merumuskan beberapa pokok masalah yang akan menjadi bahasan dalam makalah ini, yaitu:
1.      Apa sebenarnya Al-Qur’an itu, serta apa definisinya baik dari segi kebahasaan (Etimologi) dan istilah (Terminologi)?
2.      Bagaimana sejarah turun Al-Qur’an serta hikmah apa yang terkandung?
3.      Bagaimana sejarah pemeliharaaan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW, Khulafa Al-Rasyidun, serta setelahnya?

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    NUZUL AL-QUR’AN
Dalam pembahasan Nuzul Al-Qur’an, kita akan membahas pengertian Al-Qur’an itu sendiri baik secara etimologi maupun terminologi, proses dan sejarah penurunan Al-Qur’an serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
1.      Pengertian Al-Qur’an
Para ahli berbeda pendapat dalam menjelaskan definisi Al-Qur’an secara kebahasaan (etimologi). Berikut penjelasan mengenai beberapa pendapat definisi Al-Qur’an secara kebahasan yang dikemukakan para ahli.
Pendapat pertama, Asy-Syafi’i mengatakan bahwa kata Al-Qur’an tidaklah berasal dari akar kata apapun, ia merupakan nama bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana nama Taurat dan Injil.[1]
Al-Farra berpendapat bahwa lafaz Al-Qur’an ialah pecahan dari kata Qarain yang berarti kaitan. Hal itu karena ayat-ayat di dalam Al-Qur’an saling berkaitan.[2]
Az-Zajjaj berpendapat bahwa kata Al-Qur’an berasal dari kata Qar’un yang bermakna Jam’un yang artinnya kumpul. Hal itu karena di dalam Al-Qur’an terkumpul intisari-intisari dari kitab-kitab terdahulu.[3]
Al-Lihyani mengemukakan bahwa kata Al-Qur’an berasal dari kata Qa-ra-a yang berarti membaca.[4] Hal ini senada dengan surat Al-Qiyamah [75] ayat ke-17-18.
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ,فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya[5]
Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang telah diberikan oleh para ulama, baik secara singkat ataupun panjang lebar. Diantaranya ialah:
Muhammad ‘Ali As-Shabuniy mendefinisikan:[6]
كَلَامُ اللهِ الْمُعْجِزِ الْمُنَزَّلُ عَلَى خَاتَمِ الْأَنْبِيَاءِ والْمُرْسَلِيْنَ بِوَاسِطَةِ الْأَمِيْنِ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ الْمتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ الْمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ الْفَاتِحَةِ الْمُخْتَتِمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ.
Artinya: “Kalam Allah yang mukjiz (mengandung mukjizat), diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad SAW) melalui perantaraan Al-Amin (malaikat Jibrir A.S), ditulis dalam lembaran-lembaran, sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dipandang beribadah membacanya, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.”
Manna’ Khalil Al-Qathtan mendefinisikan:[7]
كَلَامُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
Artinya: “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dipandang beribadah membacanya.”
Sedangkan yang lain mendefinsikan:[8]
كَلَامُ اللهِ الْمُعْجِزِ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَنْهُ بِالتَّوَاتُرِ الْمتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
Artinya: “Firman Allah yang mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi (Muhammad) yang tertulis di dalam mushaf-mushaf yang disampaikan secara mutawattir, yang beribadah membacanya.”
Dari definisi-definisi di atas, satu dengan yang lainnya saling mendukung, tidak ada perbedaan krusial di antara definisi tersebut. Firman Allah yang terdengar oleh telinga dan merupakan kalimat yang sempurna yang menunjukan bahwa ucapan yang bukan dari Allah bukanlah Al-Qur’an, mengandung mukjizat, maksudnya mengandung suatu kehebatan yang sangat luar biasa. M. Quraish Shihab dalam bukunya menjelaskan sedikit mengenai kehebatan Al-Qur’an, beliau menjelaskan:[9]
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran. Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya. Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas) huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh- kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang 88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin. Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali; zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah, masing-masing 32 kali. Masih amat banyak keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365, sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun.
Penjelasan di atas, kiranya cukup untuk menunjukan kemukjizatan Al-Qur’an, yang mana tidak mungkin berasal dari manusia melainkan benar-benar berasal dari wahyu Tuhan Yang Maha Agung, Allah SWT. Maka salah besarlah orang-orang yang menuduh Al-Qur’an sebagai karya atau ciptaan Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya disebutkan bahwa firman Allah yang penuh dengan mukjizat tersebut diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir yakni Nabi Muhammad SAW sehingga wahyu kepada Nabi dan/atau Rasul selain beliau bukanlah termasuk Al-Qur’an. Disampaikan secara “Mutawatir”, maksudnya ialah bahwa dalam sejarah penyampaian dam penyebaran Al-Qur’an dilakukan oleh banyak orang dan dengan tetap menjaga kmurniannya sehingga Al-Qur’an hingga saat ini tetap autentik.
2.      Turunnya Al-Qur’an
Mengenai pembahsan turunnya Al-Qur’an, para ulama berpendapat bahwa Al-qur’an turun dengan tiga tahapan.[10]
Pada tahap pertama tidak ada yang mengetahui kapan dan bagaimana Al-Qur’an diturunkan, melainkan hanya Allah semata yang mengetahuinya. Namun para ulama sepakat bahwa turunnya Al-Qur’an ke Al-Lauh Al-Mahfuzh secara sekaligus.[11] Allah Berfirman:
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ, فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ
Artinya: “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.[12]
Tahap kedua ialah diturunkannya dari Al-Lauh Al-Mahfuzh ke Bait Al-Izzah atau Langit Dunia. Pada tahap ini Al-Qur’an juga diturunkan sekaligus.[13] Dalil dari tahap ini ialah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
Artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an[14]
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[15]
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.[16]
Tahap ketiga ialah penurunan Al-Qur’an dari langit dunia kepada Nabi Muhammad SAW dengan berangsur-angsur.[17] Al-Qur’an diturunkan selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari dengan melewati dua periode, yakni periode Makkah dan Madinah. Yang masuk ke dalam periode Makkah ialah semua ayat yang turun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah, dan periode Madinah ialah setelah Nabi berhijrah ke Madinah. [18]
3.      Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Berangsur-Angsur
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an secara bertahap dan berangsur-angsur tentu memiliki hikmah tersendiri. Banyak ulama yang telah menjelaskan hikmah-hikmahnya, diantara hikmah-hikmah tersebut ialah:
a.       Turunnya Al-Qur’an sekaligus ke Al-Lauh Al-Mahfuzh ialah menunjukan bukti kaeagungan ilmu, iradah, dan keluasan kekuasaan-Nya, mengingat bahwa Al-Lauh Al-Mahfuzh merupakan catatan komprehensif tentang segala ketentuan Allah yang telah maupun yang akan terjadi di alam maujud. Dengan demikian dapat semakin memantapkan keimanan kita.[19]
b.      Turunnya Al-Qur’an dari Al-Lauh Al-Mahfuzh ke Bait Al-Izzah menurut Abu Syammah ialah untuk mengagungkan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad sebagai penerimanya dengan memberitahukan kepada penghuni ketujuh langit bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir kepada Nabi terakhir.[20]
c.       Dengan turunnya secara berangsur-angsur, dapat meneguhkan dan mengokohkan hati serta menghibur Nabi dalam melaksanakan misinya atas  segala hambatan, tantangan, kesulitan, dan kesedihan.[21]
d.      Untuk memudahkan dalam menghapalnya, karena Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang sangat berbobot isi  maknanya sehingga memerlukan hapalan dan kajian secara khusus.[22]
e.       Menurut ulama yang mengakuinya, di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang nasikh dan mansukh, sehingga tidak akan jelas bila diturunkan sekaligus antara keduanya dan akan menimbulkan kesan kandungan Al-Qur’an simpangsiur.[23]
f.       Untuk memudahkan dalam memahami dan mengamalkannya,[24] bila diturunkan sekaligus, maka tentu akan menimbulkan rasa berat dalam memahami dan melaksanakannya terlebih lahi pada masa sebelum hijrah karena umat Islam berada dalam tekanan.
g.      Menyesuaikan dengan kondisi umat Islam, karena hal yang utama ditanamkan dalam syari’at Islam ialah tauhid, barulah diturunkan hukum-hukum lainnya tatkala tauhid sudah mapan.
h.      Untuk menetapkan hukum di saat dan cara yang tepat,[25] sebagaimana kita ketahui bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan berkenaan dengan hukum dan peristiwa tertentu serta dalam rangka memantapkan suatu hukum seperti penetapan keharaman khamar.
i.        Untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ada,[26] seperti menegur sikap umat Islam yang bangga dan menyombongkan diri pada perang Hunain.
j.        Untuk menunjukan bahwa Al-Qur’an benar-benar berasal dari Allah SWT dan bukan karangan Nabi Muhammad SAW.[27] Dengan waktu turun yang panjang, dengan kesesuaian yang tinggi antara huruf, kata, dan kalimatnya, serta ketinggian nilai dan bobot kandungan isinya, tentu tidak mungkin Al-Qur’an berasal dari manusia, melainkan berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, Allah Azza Wajalla.
k.      Dan lain sebagainya.
B.     PEMELIHARAAN AL-QUR’AN
Pemeliharaan Al-Qur’an bisa dengan beberapa cara yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Pemeliharaannya bisa berbentuk penghapalannya didalam dada, bisa berbentuk penulisannya dalam lembaran-lembaran serta bisa pula dengan pengamalan dalam keseharian kita. Namun dalam pembahasan kali ini kita akan membahas pemeliharaan dalam arti penulisannya dalam lembaran serta yang semisal dengannya. Dalam hal ini, pembahasannya akan dibagi menjadi tiga berdasarkan periode waktunya yaitu penulisan Al-qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW, penulisan Al-Qur’an pada Masa Khulafa Al-Rasyidun, dan penulisan Al-Qur’an setelah masa Khulafa Al-Rasyidun.
1.      Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad
Pada permulaan Islam, bangsa Arab umumnya buta huruf, sedikit sekali di antara mereka yang pandai dalam tulis menulis. Namun walaupun begitu, ketika turun wahyu, Nabi membacakannya kepada para sahabat serta menyuruh untuk menulisnya.[28] Juru tulis pertama Nabi di Makkah ialah Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh, kemudian dia murtad dan kembali memeluk Islam setelah Fathu Makkah.[29] Pada riwayat lain ialah Khalid bin Sa’id bin Al-‘As, ia menjelaskan “Saya orang pertama yang menulis 'Bismillah ar-Rahman ar­Rahim' (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).”[30] Sedangkan juru tulis pertama di Madinah ialah Ubay bin Kaab dan Zaid bin Tsabit.[31]
Sedangkan penulis lainnya ialah: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Amer bin Ash, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, Mu’awwiyah bin Abu Sufyan,[32] Amir bin Fuhairah, Ubay bin Ka’ab, Tsabit bin Qais bin Syamas, Yazid, Mughirah bin Syu’bah, ‘Ala bin Al-Hadhramiy,[33] dan lainnya.
Penulisan pada masa ini dilakukan dengan sangat hati-hati. Nabi Muhammad tidak ingin Al-Qur’an tercampur dengan yang lain walaupun itu dengan Haditsnya. Nabi Muhammad bersabda:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّى شَيْئًا إِلَّا الْقُرْأَنَ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّى شَيْئًا غَيْرَ الْقُرْأَنِ فَلْيَمْحُهُ
Artinya: “Jangan kamu tulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, barang siapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah!” (HR Muslim)
Sedangkan tehnik serta letak penulisannya langsung diawasi dari Nabi dan atas intrupsi darinya. Usman bin Affan menjelaskan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم تُنْزِلُ عَلَيْهِ السُّوَرُ ذَوَاتُ الْعَدَدِ, فَكَانَ اِذَا اُنْزِلَ عَلَيْهِ شَيْءٌ دَعَا بَعْضَ مَنْ يَكْتُبُ فَيَقُوْلُ: ضَعُوْا هَذِهِ الْأَيَاتِ فِى السُّورَةِ الَّتِى يُذْكَرُ فِيْهَا كَذَا وَكَذَا
Artinya: “Adalah  Rasulullah SAW ketika diturunkan sebuah surat padanya, masing-masing memiliki sejumlah ayat, maka apabila diturunkan padanya suatu ayat, beliau memanggil diantara penulis wahyu dan memerintahkan ‘Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang disebutkan, surat anu dan anu.’
Pada masa ini,belum ada kertas sebagaimana sekarang, para sahabat menulis Al-Qur’an pada kepingan tulang, pelepah kurma, kepingan batu, kulit binatang dan lainnya.[34] Selain itu keadaan tulisan-tulisan Al-Qur’an masih terpisah-pisah sesuai dengan penulisnya dan tulisan sahabat lainnya, belum dikumpulkan menjadi satu. Hal ini berlangsung hingga Nabi wafat.
Menurut Al-Zarqaniy sebagaimana dikutip Supiana, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pada masa Nabi Al-Qur’an belum dibukukan menjadi satu mushaf, yaitu:[35]
a.       Banyaknya para penghapal Al-Qur’an di masa itu,
b.      Mempertimbangkan masih berjalannya proses nuzul wahyu,
c.       Dalam proses nuzul wahyu, masih dimungkinkan adanya ayat-ayat yang mansukh disamping tartib ayat dan urutan surat tidak seperti tartib nuzulnya.
2.      Penulisan Al-Qur’an pada masa Khulafa Al-Rasyidun
Ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, umat Islam masih dirundung kesedihan atas wafatnya Nabi. Selain itu masih banyak yang lemah imannya serta dangkal pemahammannya, hal ini menimbulkan masalah baru di tengah ummat berupa munculnya nabi-nabi palsu, dan orang-orang murtad serta kelompok yang enggan membayar zakat.
Menyikapi hal ini, Abu Bakar bertindak tegas, sebagaimana ucapannya “Demi Allah, sekiranya mereka menolak untuk menyerahkan seekor anak domba sebagai zakat sebagaimana yang pernah mereka serahkan kepada Rasulullah, pasti aku perangi mereka.”[36]
Pada tahun ke-12 Hijriyyah, terjadilah pertempuran Yamamah antara pasukan Khalid bin Walid dengan pasukan pembangkang yang dalam peperangan ini banyak menelan korban jiwa para penghapal Al-Qur’an.[37] Jumlah penghapal yang syahid menurut beberapa sumber berbeda, Al-Qurtubi menyebutkan 70 penghapal sebagaimana gugurnya para penghapal Al-Qur’an pada pertempuran di Bi’ri Ma’unah pada zaman Rasul,[38] Ibnu Katsir mengatakan 500 orang[39] dan suatu pendapat lain mengatakan 700 orang penghapal Al-Qur’an bahkan lebih.[40] Terlepas dari perbedaan tersebut, wafatnya penghapal Al-Qur’an itu menyebabkan kegelisahan Umar bin Khattab, ia khawatir bila banyak penghapal yang meninggal karena perang maka lama-kelamaan Al-Qur’an akan lenyap.[41]
Maka dari itu, Umar pun mengusulkan kepada Abu Bakar agar segera memerintahkan pengumpulan Al-Qur’an. Pada mulanya Abu Bakar menolak usulan Umar, namun setelah terus diyakinkan Umar, akhirnya Abu Bakar menyetujuinya dan memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melaksanakan tugas mulia ini. Semula, Zaid juga menolak sebagaimana awalnya Abu Bakar, namun setelah diyakinkan ia pun mau melaksanakan tugas ini.[42]
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid dibantu oleh sahabat lainnya seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ubay bin Ka’ab.[43] Selain itu, pengumpulan ini diawasi langsung oleh khalifah, sedangkan metode pengumpulannya ialah dengan dua saksi, Abu Bakar berkata kepada Zaid dan Umar: “Duduklah di pintu masjid, siapa saja yang mendatangimu dengan dua orang saksi tentang suatu hal yang menyangkut kitab suci ini, tulislah!”[44]
Setelah pekerjaan ini rampung, mushaf tersebut disimpan di rumah Abu Bakar, setelah beliau wafat, dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab sebagai seorang khalifah masa itu, setelah itu disimpan pada Hafsah binti Umar.[45]
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, terjadi kecenderungan baru untuk mempelajari Al-Qur’an termasuk cara membacanya, dan berdasarkan wilayah terdapat kecendrungan bacaan yang digunakan, mereka menggunakan bacaan guru yang mereka anggap paling bagus dan benar.[46] Hingga suatu waktu tentara Islam berkumpul untuk membebaskan Adzarbiyan dan Armenia, terjadi perselisihan mengenai bacaan Al-Qur’an yang hampir memecah belah tentara Islam, maka Hudzaifah mengusulkan kepada Khalifah Utsman agar segera berusaha mempersatukan umat Islam dalam membaca Al-Qur’an.[47]
Menaggapi hal itu, Utsman membentuk panitia penyalinan Al-Qur’an yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dan anggotanya Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, serta Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.[48] Dalam pelaksanaan tugas penyalinan mushaf ini, Utsman memberikan rambu-rambu kepada mereka agar mengambil pedoman pada bacaan mereka yang telah hafal Al-Qur’an dan menulisnya dengan dialek Quraisy bilamana terdapat perbedaan pendapat di antara mereka.[49]
Setelah tugas tersebut rampung, khalifah menggandakan kembali mushaf tersebut dan mengirimnya ke beberapa daerah sebagai pedoman pokok dalam membaca Al-Qur’an serta menyeru agar suhuf-suhuf yang berbeda dengan mushaf tersebut dibakar.[50]
3.      Penulisan Al-Qur’an pada masa setelah Khulafa Al-Rasyidun
Al-Qur’an pada masa Rasulullah ditulis tanpa tanda baca, hingga pada masa Utsman pun juga belum ada sehingga mushaf Al-Imam pun juga ditulis tanpa tanda baca. Barulah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan sangat banyak orang-orang ’Ajam yang masuk Islam sehingga terjadi banyak kesalahan dalam membaca Al-Qur’an. Para ulama khawatir, andai saja mushaf Al-Imam tetap tidak memiliki tanda baca, maka akan kesalahan dalam membaca akan terus terjadi. Hal itu membuat para ulama terdorong untuk membuat tanda baca  sehingga menolong para pembaca dalam membaca Al-Qur’an.
Diantara para ulama yang telah berjasa dalam pemberian tanda baca ialah:[51]
a.       Abdul Aswad Ad-Dauly, pertama kali memberikan tanda baca berupa titik pada huruf terakhir pada setiap kata.
b.      Nashr bin Ashim atas perintah Al-Hajjaj, menyempurnakan usaha Ad-Dauly dengan memberika titik-titik pada huruf-huruf Al-Qur’an.
c.       Khalil bin Ahmad, yang pertama memberikan tanda fathah (َ), dhommah (ُ), kasrah (ِ), sukun (ْ), hamzah, tasydid (ّ), dan ismam.
d.      Dan lainnya.
Selain pemberian tanda baca, bentuk pemeliharaan lainnya, terutama ketika telah adanya mesin cetak, maka timbullah pemikiran untuk mencetak Al-Qur’an. Untuk yang pertama kalinya Al-Qur’an dicetak ialah di Bundukiyah (Vinece) pada tahun 1530 M atau abad ke-10 Hijriyyah, namun kekuasaan Gereja memerintahkan agar Al-Qur’an yang telah dicetak dimusnahkan. Baru kemudian Hankelman mencetak Al-Qur’an di kota Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M atau abad ke-12 H.[52]
Pada zaman ini jutaan lebih Al-Qur’an telah dicetak, serta di beberapa negara, terutama negara muslim atau yang penduduknya mayoritas muslim, seperti di Indonesia, terdapat banyak sekali pondok pesantren yang mengusahakan penghapalan Al-Qur’an bagi santrinya, selain itu pemerintah juga membentuk tim pentashih Al-Qur’an yang akan dicetak dan diedarkan sehingga terhindar dari kesalahan baik disengaja maupun tidak. Serta banyak lagi usaha menjaga dan memelihara Al-Qur’an yang lainnya.











BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Para ahli berbeda pendapat dalam menjelaskan definisi Al-Qur’an secara kebahasaan (etimologi). Asy-Syafi’i mengatakan kata Al-Qur’an tidak berasal dari akar kata apapun, merupakan nama bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana nama Taurat dan Injil. Al-Farra berpendapat lafaz Al-Qur’an pecahan dari kata Qarain yang berarti kaitan. Az-Zajjaj berpendapat kata Al-Qur’an berasal dari kata Qar’un yang bermakna Jam’un yang artinnya kumpul. Al-Lihyani mengemukakan kata Al-Qur’an berasal dari kata Qa-ra-a yang berarti membaca.
Sedangkan secara terminologi ialah “Kalam Allah yang mukjiz (mengandung mukjizat), diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad SAW) melalui perantaraan Al-Amin (malaikat Jibrir A.S), ditulis dalam lembaran-lembaran, sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dipandang beribadah membacanya, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.”
Al-Qur’an mengalami tiga tahap penurunan yaitu dari Allah ke Al-Lauh Al-Mahfuzh secara sekaligus, dari Al-Lauh Al-Mahfuzh ke Bait Al-Izzah atau Langit Dunia dan Tahap ketiga dari langit dunia kepada Nabi Muhammad SAW dengan berangsur-angsur. Hikmah yang terkandung banyak sekali, seperti memudahkan menghapal, menguatkan hati Nabi, memberikan jawaban serta hukum, menunjukan keaslian wahyu Ilahi serta lainnya.
Pemeliharaan pada masa Nabi sebatas pada penulisannya pada beberapa benda, sifatnya masih terpisah-pisah. Pada masa Abu Bakar, Al-Qur’an dikumpulkan menjadi satu dengan syarat persaksian dua orang serta ditulus di depan Nabi. Pada masa Utsman, terjadi penyeragaman dialek pembacaan Al-Qur’an sehingga umat Islam terhindar dari perpecahan. Barulah pada masa selanjutnya dilakukan penambahan tanda baca serta pada zaman moderen dilakukan pencetakan Al-Qur’an dan penghapalannya.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahhannya.

Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah  Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Depag, 2009

H. Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari; Penjelasan Kitab Sahih Al-Bukhari, terj. Oleh Amiruddin, vol.24, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008

Ibrahim Al-Abyasi, Sejarah Al-Qur’an, terj. Oleh Ramli Harun, Jakarta: DEPDIKBUD, 1996

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, Bandung: Mizan,1996

M.M. A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an; Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, E-book, 2005.

Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur’an; Telaah Atas Mushaf Utsmani, terj. Oleh Taufiqurrahman, Bandung: Pustaka Setia, 2003

RS. Abdul Aziz, Pelajaran Tafsir Ilmu Tafsir, Semarang: Wicaksana, 1991

Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004

Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, 2002


[1] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) hlm.5
[2] Ibid.
[3] Ibid. h.6
[4] Ibid.
[5] Al-Qur’an Al-Karim, Surat Al-Qiyamah(75) ayat ke-17-18.
[6] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002) hlm.33
[7] Ibid, h.34
[8] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah  Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Depag, 2009) hlm.199
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan,1996) hlm.1-2
[10] DEPAG RI, Muqaddimah  Al-Qur’an...., h.201
[11] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran…., h.56
[12] Q.S. Al-Buruj (85):21-22
[13] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran…., h.57
[14] Q.S. Al-Baqarah (2):185
[15] Q.S. Ad-Dukhan (44):3
[16] Q.S. Al-Qadr (97):1
[17] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran…., h.58
[18] DEPAG RI, Muqaddimah  Al-Qur’an...., h.203
[19] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran…., h.56
[20] Ibid, h.58
[21] Ibid, h.59
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] DEPAG RI, Muqaddimah  Al-Qur’an...., h.204
[25] Ibid.
[26] Ibid, h.209
[27] Ibid, h.211
[28] RS. Abdul Aziz, Pelajaran Tafsir Ilmu Tafsir, (Semarang: Wicaksana, 1991) hlm.42
[29] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari; Penjelasan Kitab Sahih Al-Bukhari, terj. Oleh Amiruddin, vol.24 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) hlm.731
[30] M.M. A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an; Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, E-book, 2005.
[31] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran…., h.120
[32] Aziz, Pelajaran Tafsir...., h.42
[33] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran…., h.119
[34] Aziz, Pelajaran Tafsir...., h.42
[35] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran…., h.121
[36] Aziz, Pelajaran Tafsir...., h.44
[37] Ibid.
[38] Ibid, h.45
[39] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur’an; Telaah Atas Mushaf Utsmani, terj. Oleh Taufiqurrahman, (Bandung: Pustaka Setia, 2003) hlm.29
[40] Al-Asqalani, Fathul Baari....., h.700
[41] H. Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hlm.12
[42] Abu Syuhbah, Studi Ulumul....., h.29-30.
[43] Syafe’i, Pengantar Ilmu....., h.14
[44] Ibrahim Al-Abyasi, Sejarah Al-Qur’an, terj. Oleh Ramli Harun, (Jakarta: DEPDIKBUD, 1996) hlm.69
[45] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran…., h.123
[46] Ibid, h.124
[47] Aziz, Pelajaran Tafsir...., h.47
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Ibid, h.48.
[51] Ibid, h.49
[52] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar