MAKALAH
ULUMUL QUR’AN
”SEJARAH TURUN & PENULISAN AL-QUR’AN”
OLEH:
ASHGOR KAMAL
(152 111 004)
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
MATARAM
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat-Nya yang tiada tara sehingga makalah ini bisa terselesaikan
dengan baik. Sholawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada Nabi akhir
zaman, pembawa pelita yang terus terang bendenrang hingga sekarang, yakni Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan kita contoh dan suri tauladan serta
bimbingan sehingga kita masih berada dalam aqidah yang diridhai-Nya.
Ulumul Qur’an merupakan salah satu mata kuliah yang diajarkan pada Institut
Agama Islam Negri ( IAIN) MATARAM. Diharapkan agar mahasiswa dapat mengetahui
Ulumul Qur’an disertai dengan berbagai macam bahasan yang menyertainya sebagai
salah satu dasar untuk memahami kandungan-kandungan Al-Qur’an dengan benar. Salah
satu dari bahasan yang dibahas ialah sejarah dari diturunkannya Al-Qur’an serta
kodifikasinya. Masalah tersebut akan menjadi pokok bahasan pada makalah ini.
Selanjutnya
kami menyampaikan banyak terimakasih kepada saudara karib kerabat serta sahabat
yang telah membantu terselesaikannya makalah ini. Akhir kata, mohon ma’af kiranya ada kekurangan yang terdapat dalam makalah ini serta kami pun
tetap mengharapkan keritikan dan saran
serta masukan yang membangun dari bapak ibu dosen dan pembaca yang budiman guna
menyempurnakan makalah ini. Selain itu, semoga makalah yang sederhana ini dapat
bermanfaat bagi kita semua serta bias bernilai ibadah di sisi-Nya. Amin.
Penyusun.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Al-Qur’an
merupakan kitab suci umat Islam yang sangat mulia. Merupakan mukjizat terbesar yang telah
diberikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang tidak ada keraguan padanya serta akan terus terjaga sepanjang
zaman hingga akhir masa nanti. Tersusun dengan gaya bahasa yang sangat tinggi
serta kandungannya yang sangat hebat, tidak ada yang dapat menandinginya
walaupun hanya satu ayat saja sejak dahulu, sekarang, hingga hari akhir nanti.
Singkat kata, Al-Qur’an benar-benar kitab suci yang terpelihara sebagai kalam
Tuhan yang luar biasa serta berasal dari Tuhan Yang Maha Benar, yakni Allah
Azza Wajalla.
Namun demikian,
ada saja orang-orang yang tetap menebar berbagai macam fitnah untuk mengotori
kesucian dan kemuliaan Al-Qur’an. Mulai dari zaman Nabi Muhammad SAW sendiri
dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an itu sebagai karya Nabi Muhammad SAW dan
sebagainya, hingga saat ini yang masih meragukan ke-otentik-kan Al-Qur’an
dengan mengatakan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, Al-Qur’an banyak mendapat
perubahan-perubahan sehingga Al-Qur’an saat ini sama dengan kitab-kitab
terdahulu yang terdapat perubahan di dalamnya (tidak otentik).
Menyikapi hal
tersebut, perlu kiranya kita menjawabnya dengan tetap menjaga kesucian dan
kemuliaan Al-Qur’an. Maka dari itu, kita akan membahas di dalam makalah ini
mengenai sejarah penurunan Al-Qur’an, apakah benar Al-Qur’an itu sebagai karya Nabi
Muhammad SAW, ataukah tidak? Selain itu, kita juga akan membahas bagaimana
perjalanan Al-Qur’an itu terutama masalah kodifikasinya pada masa awal Islam,
yakni masalah kodifikasi atau penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW,
pada masa Khalifah yang empat, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib atau lebih dikenal dengan Khulafa Al-Rasyidun,
serta sejarah Al-Qur’an pada masa setelahnya meliputi masa tabiin, tabit-tabiin
dan seterusnya. Hal itu perlu kita bahas untuk mengetahui sejauh mana
keotentikan Al-Qur’an.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dari paparan di
atas, pemakalah dapat merumuskan beberapa pokok masalah yang akan menjadi
bahasan dalam makalah ini, yaitu:
1.
Apa
sebenarnya Al-Qur’an itu, serta apa definisinya baik dari segi kebahasaan (Etimologi)
dan istilah (Terminologi)?
2.
Bagaimana
sejarah turun Al-Qur’an serta hikmah apa yang terkandung?
3.
Bagaimana
sejarah pemeliharaaan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW, Khulafa Al-Rasyidun,
serta setelahnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. NUZUL AL-QUR’AN
Dalam
pembahasan Nuzul Al-Qur’an, kita akan membahas pengertian Al-Qur’an itu sendiri
baik secara etimologi maupun terminologi, proses dan sejarah penurunan Al-Qur’an serta
hal-hal yang berkaitan dengannya.
1. Pengertian Al-Qur’an
Para ahli berbeda pendapat dalam menjelaskan definisi
Al-Qur’an secara kebahasaan (etimologi). Berikut penjelasan mengenai beberapa
pendapat definisi Al-Qur’an secara kebahasan yang dikemukakan para ahli.
Pendapat pertama, Asy-Syafi’i mengatakan bahwa kata
Al-Qur’an tidaklah berasal dari akar kata apapun, ia merupakan nama bagi kitab
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana nama Taurat dan Injil.[1]
Al-Farra berpendapat bahwa lafaz Al-Qur’an ialah pecahan
dari kata Qarain yang berarti kaitan. Hal itu karena ayat-ayat di dalam
Al-Qur’an saling berkaitan.[2]
Az-Zajjaj berpendapat bahwa kata Al-Qur’an berasal dari
kata Qar’un yang bermakna Jam’un yang artinnya kumpul. Hal itu
karena di dalam Al-Qur’an terkumpul intisari-intisari dari kitab-kitab
terdahulu.[3]
Al-Lihyani mengemukakan bahwa kata Al-Qur’an berasal dari
kata Qa-ra-a yang berarti membaca.[4]
Hal ini senada dengan surat Al-Qiyamah [75] ayat ke-17-18.
إِنَّ
عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ,فَإِذَا قَرَأْنَاهُ
فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Artinya: “Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”[5]
Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi
yang telah diberikan oleh para ulama, baik secara singkat ataupun panjang
lebar. Diantaranya ialah:
Muhammad ‘Ali As-Shabuniy mendefinisikan:[6]
كَلَامُ
اللهِ الْمُعْجِزِ الْمُنَزَّلُ عَلَى خَاتَمِ الْأَنْبِيَاءِ والْمُرْسَلِيْنَ
بِوَاسِطَةِ الْأَمِيْنِ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ الْمَكْتُوْبُ فِى
الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ الْمتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
الْمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ الْفَاتِحَةِ الْمُخْتَتِمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ.
Artinya: “Kalam Allah yang mukjiz (mengandung mukjizat),
diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad SAW) melalui perantaraan
Al-Amin (malaikat Jibrir A.S), ditulis dalam lembaran-lembaran, sampai kepada
kita dengan jalan mutawatir, dipandang beribadah membacanya, diawali dengan
surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.”
Manna’ Khalil Al-Qathtan mendefinisikan:[7]
كَلَامُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
Artinya: “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dipandang beribadah membacanya.”
Sedangkan yang lain mendefinsikan:[8]
كَلَامُ
اللهِ الْمُعْجِزِ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ
الْمَنْقُوْلُ عَنْهُ بِالتَّوَاتُرِ الْمتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
Artinya: “Firman Allah yang mengandung mukjizat, yang
diturunkan kepada Nabi (Muhammad) yang tertulis di dalam mushaf-mushaf yang
disampaikan secara mutawattir, yang beribadah membacanya.”
Dari definisi-definisi di atas, satu dengan yang
lainnya saling mendukung, tidak ada perbedaan krusial di antara definisi
tersebut. Firman Allah yang terdengar oleh telinga dan merupakan kalimat yang
sempurna yang menunjukan bahwa ucapan yang bukan dari Allah bukanlah Al-Qur’an,
mengandung mukjizat, maksudnya mengandung suatu kehebatan yang sangat luar
biasa. M. Quraish Shihab dalam bukunya menjelaskan sedikit mengenai kehebatan
Al-Qur’an, beliau menjelaskan:[9]
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan
juta orang yang tidak
mengerti artinya
dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh
orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Tiada bacaan
melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya
secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat
turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan
seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan
kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai
kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku,
generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak
pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan
kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran. Al-Quran layaknya sebuah permata
yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda
sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tiada bacaan
seperti Al-Quran yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan,
dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang
terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan
iramanya, sampai kepada etika membacanya. Tiada bacaan sebanyak kosakata
Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh
sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu
lima belas) huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan
padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Sebagai contoh -sekali
lagi sebagai contoh- kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut,
masing-masing 145 kali; akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat
terulang 88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali
sebanyak kata dhijg (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.
Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha
(kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama dengan akibatnya yaitu penyesalan
masing-masing 12 kali; zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah, masing-masing
32 kali. Masih amat banyak keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari)
terulang sebanyak 365, sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan)
terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun.
Penjelasan di atas, kiranya cukup untuk menunjukan
kemukjizatan Al-Qur’an, yang mana tidak mungkin berasal dari manusia melainkan
benar-benar berasal dari wahyu Tuhan Yang Maha Agung, Allah SWT. Maka salah besarlah orang-orang yang menuduh Al-Qur’an sebagai karya
atau ciptaan Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya
disebutkan bahwa firman Allah yang penuh dengan mukjizat tersebut diturunkan
kepada Nabi dan Rasul terakhir yakni Nabi Muhammad SAW sehingga wahyu kepada
Nabi dan/atau Rasul selain beliau bukanlah termasuk Al-Qur’an. Disampaikan
secara “Mutawatir”, maksudnya ialah bahwa dalam sejarah penyampaian dam
penyebaran Al-Qur’an dilakukan oleh banyak orang dan dengan tetap menjaga
kmurniannya sehingga Al-Qur’an hingga saat ini tetap autentik.
2.
Turunnya Al-Qur’an
Mengenai
pembahsan turunnya Al-Qur’an, para ulama berpendapat bahwa Al-qur’an turun
dengan tiga tahapan.[10]
Pada tahap
pertama tidak ada yang mengetahui kapan dan bagaimana Al-Qur’an diturunkan,
melainkan hanya Allah semata yang mengetahuinya. Namun para ulama sepakat bahwa
turunnya Al-Qur’an ke Al-Lauh Al-Mahfuzh secara sekaligus.[11]
Allah Berfirman:
بَلْ
هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ, فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ
Artinya: “Bahkan
yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam
Lauh Mahfuzh.”[12]
Tahap kedua ialah
diturunkannya dari Al-Lauh Al-Mahfuzh ke Bait Al-Izzah atau Langit Dunia. Pada
tahap ini Al-Qur’an juga diturunkan sekaligus.[13]
Dalil dari tahap ini ialah:
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
Artinya: “Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an”[14]
إِنَّا
أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ
Artinya: “Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi”[15]
إِنَّا
أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Artinya: “Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.”[16]
Tahap ketiga
ialah penurunan Al-Qur’an dari langit dunia kepada Nabi Muhammad SAW dengan
berangsur-angsur.[17]
Al-Qur’an diturunkan selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari dengan melewati dua
periode, yakni periode Makkah dan Madinah. Yang masuk ke dalam periode Makkah ialah
semua ayat yang turun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah, dan periode Madinah
ialah setelah Nabi berhijrah ke Madinah. [18]
3. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Berangsur-Angsur
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an secara bertahap dan berangsur-angsur
tentu memiliki hikmah tersendiri. Banyak ulama yang telah menjelaskan
hikmah-hikmahnya, diantara hikmah-hikmah tersebut ialah:
a.
Turunnya Al-Qur’an sekaligus ke Al-Lauh
Al-Mahfuzh ialah menunjukan bukti kaeagungan ilmu, iradah, dan keluasan kekuasaan-Nya,
mengingat bahwa Al-Lauh Al-Mahfuzh merupakan catatan komprehensif tentang
segala ketentuan Allah yang telah maupun yang akan terjadi di alam maujud.
Dengan demikian dapat semakin memantapkan keimanan kita.[19]
b.
Turunnya Al-Qur’an dari Al-Lauh Al-Mahfuzh ke Bait
Al-Izzah menurut Abu Syammah ialah untuk mengagungkan Al-Qur’an dan Nabi
Muhammad sebagai penerimanya dengan memberitahukan kepada penghuni ketujuh
langit bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir kepada Nabi terakhir.[20]
c.
Dengan turunnya secara berangsur-angsur, dapat
meneguhkan dan mengokohkan hati serta menghibur Nabi dalam melaksanakan misinya
atas segala hambatan, tantangan,
kesulitan, dan kesedihan.[21]
d.
Untuk memudahkan dalam menghapalnya, karena
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang sangat berbobot isi maknanya sehingga memerlukan hapalan dan
kajian secara khusus.[22]
e.
Menurut ulama yang mengakuinya, di dalam
Al-Qur’an terdapat ayat yang nasikh dan mansukh, sehingga tidak
akan jelas bila diturunkan sekaligus antara keduanya dan akan menimbulkan kesan
kandungan Al-Qur’an simpangsiur.[23]
f.
Untuk memudahkan dalam memahami dan
mengamalkannya,[24]
bila diturunkan sekaligus, maka tentu akan menimbulkan rasa berat dalam
memahami dan melaksanakannya terlebih lahi pada masa sebelum hijrah karena umat
Islam berada dalam tekanan.
g.
Menyesuaikan dengan kondisi umat Islam, karena
hal yang utama ditanamkan dalam syari’at Islam ialah tauhid, barulah diturunkan
hukum-hukum lainnya tatkala tauhid sudah mapan.
h.
Untuk menetapkan hukum di saat dan cara yang
tepat,[25]
sebagaimana kita ketahui bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan
berkenaan dengan hukum dan peristiwa tertentu serta dalam rangka memantapkan
suatu hukum seperti penetapan keharaman khamar.
i.
Untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ada,[26]
seperti menegur sikap umat Islam yang bangga dan menyombongkan diri pada perang
Hunain.
j.
Untuk menunjukan bahwa Al-Qur’an benar-benar
berasal dari Allah SWT dan bukan karangan Nabi Muhammad SAW.[27]
Dengan waktu turun yang panjang, dengan kesesuaian yang tinggi antara huruf,
kata, dan kalimatnya, serta ketinggian nilai dan bobot kandungan isinya, tentu
tidak mungkin Al-Qur’an berasal dari manusia, melainkan berasal dari Tuhan Yang
Maha Esa, Allah Azza Wajalla.
k.
Dan lain sebagainya.
B.
PEMELIHARAAN
AL-QUR’AN
Pemeliharaan Al-Qur’an bisa dengan beberapa cara yang
satu dengan lainnya saling berkaitan. Pemeliharaannya bisa berbentuk
penghapalannya didalam dada, bisa berbentuk penulisannya dalam
lembaran-lembaran serta bisa pula dengan pengamalan dalam keseharian kita.
Namun dalam pembahasan kali ini kita akan membahas pemeliharaan dalam arti
penulisannya dalam lembaran serta yang semisal dengannya. Dalam hal ini,
pembahasannya akan dibagi menjadi tiga berdasarkan periode waktunya yaitu
penulisan Al-qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW, penulisan Al-Qur’an pada Masa
Khulafa Al-Rasyidun, dan penulisan Al-Qur’an setelah masa Khulafa Al-Rasyidun.
1.
Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad
Pada permulaan Islam, bangsa Arab umumnya buta huruf,
sedikit sekali di antara mereka yang pandai dalam tulis menulis. Namun walaupun
begitu, ketika turun wahyu, Nabi membacakannya kepada para sahabat serta
menyuruh untuk menulisnya.[28]
Juru tulis pertama Nabi di Makkah ialah Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh,
kemudian dia murtad dan kembali memeluk Islam setelah Fathu Makkah.[29]
Pada riwayat lain ialah Khalid bin Sa’id bin Al-‘As, ia menjelaskan “Saya orang
pertama yang menulis 'Bismillah ar-Rahman arRahim' (Dengan Nama Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).”[30]
Sedangkan juru tulis pertama di Madinah ialah Ubay bin Kaab dan Zaid bin
Tsabit.[31]
Sedangkan penulis lainnya ialah: Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Amer bin Ash,
Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, Mu’awwiyah bin Abu Sufyan,[32] Amir
bin Fuhairah, Ubay bin Ka’ab, Tsabit bin Qais bin Syamas, Yazid, Mughirah bin
Syu’bah, ‘Ala bin Al-Hadhramiy,[33]
dan lainnya.
Penulisan pada masa ini dilakukan dengan sangat
hati-hati. Nabi Muhammad tidak ingin Al-Qur’an tercampur dengan yang lain
walaupun itu dengan Haditsnya. Nabi Muhammad bersabda:
لَا تَكْتُبُوْا
عَنِّى شَيْئًا إِلَّا الْقُرْأَنَ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّى شَيْئًا غَيْرَ
الْقُرْأَنِ فَلْيَمْحُهُ
Artinya: “Jangan kamu tulis sesuatu dariku selain
Al-Qur’an, barang siapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an, maka
hapuslah!” (HR Muslim)
Sedangkan tehnik serta letak penulisannya langsung
diawasi dari Nabi dan atas intrupsi darinya. Usman bin Affan menjelaskan:
كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم تُنْزِلُ عَلَيْهِ السُّوَرُ ذَوَاتُ الْعَدَدِ, فَكَانَ
اِذَا اُنْزِلَ عَلَيْهِ شَيْءٌ دَعَا بَعْضَ مَنْ يَكْتُبُ فَيَقُوْلُ: ضَعُوْا
هَذِهِ الْأَيَاتِ فِى السُّورَةِ الَّتِى يُذْكَرُ فِيْهَا كَذَا وَكَذَا
Artinya: “Adalah
Rasulullah SAW ketika diturunkan sebuah surat padanya, masing-masing
memiliki sejumlah ayat, maka apabila diturunkan padanya suatu ayat, beliau
memanggil diantara penulis wahyu dan memerintahkan ‘Letakkanlah ayat-ayat ini
pada surat yang disebutkan, surat anu dan anu.’”
Pada masa ini,belum ada kertas sebagaimana sekarang, para
sahabat menulis Al-Qur’an pada kepingan tulang, pelepah kurma, kepingan batu,
kulit binatang dan lainnya.[34]
Selain itu keadaan tulisan-tulisan Al-Qur’an masih terpisah-pisah sesuai dengan
penulisnya dan tulisan sahabat lainnya, belum dikumpulkan menjadi satu. Hal ini
berlangsung hingga Nabi wafat.
Menurut Al-Zarqaniy sebagaimana dikutip Supiana,
setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pada masa Nabi Al-Qur’an belum
dibukukan menjadi satu mushaf, yaitu:[35]
a.
Banyaknya para penghapal Al-Qur’an di masa
itu,
b.
Mempertimbangkan masih berjalannya proses
nuzul wahyu,
c.
Dalam proses nuzul wahyu, masih dimungkinkan
adanya ayat-ayat yang mansukh disamping tartib ayat dan urutan surat tidak
seperti tartib nuzulnya.
2.
Penulisan Al-Qur’an pada masa Khulafa
Al-Rasyidun
Ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, umat Islam
masih dirundung kesedihan atas wafatnya Nabi. Selain itu masih banyak yang
lemah imannya serta dangkal pemahammannya, hal ini menimbulkan masalah baru di
tengah ummat berupa munculnya nabi-nabi palsu, dan orang-orang murtad serta
kelompok yang enggan membayar zakat.
Menyikapi hal ini, Abu Bakar bertindak tegas, sebagaimana
ucapannya “Demi Allah, sekiranya mereka menolak untuk menyerahkan seekor anak
domba sebagai zakat sebagaimana yang pernah mereka serahkan kepada Rasulullah,
pasti aku perangi mereka.”[36]
Pada tahun ke-12 Hijriyyah, terjadilah pertempuran
Yamamah antara pasukan Khalid bin Walid dengan pasukan pembangkang yang dalam
peperangan ini banyak menelan korban jiwa para penghapal Al-Qur’an.[37]
Jumlah penghapal yang syahid menurut beberapa sumber berbeda, Al-Qurtubi
menyebutkan 70 penghapal sebagaimana gugurnya para penghapal Al-Qur’an pada
pertempuran di Bi’ri Ma’unah pada zaman Rasul,[38]
Ibnu Katsir mengatakan 500 orang[39]
dan suatu pendapat lain mengatakan 700 orang penghapal Al-Qur’an bahkan lebih.[40]
Terlepas dari perbedaan tersebut, wafatnya penghapal Al-Qur’an itu menyebabkan
kegelisahan Umar bin Khattab, ia khawatir bila banyak penghapal yang meninggal
karena perang maka lama-kelamaan Al-Qur’an akan lenyap.[41]
Maka dari itu, Umar pun mengusulkan kepada Abu Bakar agar
segera memerintahkan pengumpulan Al-Qur’an. Pada mulanya Abu Bakar menolak
usulan Umar, namun setelah terus diyakinkan Umar, akhirnya Abu Bakar
menyetujuinya dan memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melaksanakan tugas mulia
ini. Semula, Zaid juga menolak sebagaimana awalnya Abu Bakar, namun setelah
diyakinkan ia pun mau melaksanakan tugas ini.[42]
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid dibantu oleh sahabat
lainnya seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ubay bin Ka’ab.[43]
Selain itu, pengumpulan ini diawasi langsung oleh khalifah, sedangkan metode
pengumpulannya ialah dengan dua saksi, Abu Bakar berkata kepada Zaid dan Umar:
“Duduklah di pintu masjid, siapa saja yang mendatangimu dengan dua orang saksi
tentang suatu hal yang menyangkut kitab suci ini, tulislah!”[44]
Setelah pekerjaan ini rampung, mushaf tersebut disimpan
di rumah Abu Bakar, setelah beliau wafat, dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab
sebagai seorang khalifah masa itu, setelah itu disimpan pada Hafsah binti Umar.[45]
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, terjadi
kecenderungan baru untuk mempelajari Al-Qur’an termasuk cara membacanya, dan
berdasarkan wilayah terdapat kecendrungan bacaan yang digunakan, mereka
menggunakan bacaan guru yang mereka anggap paling bagus dan benar.[46]
Hingga suatu waktu tentara Islam berkumpul untuk membebaskan Adzarbiyan dan
Armenia, terjadi perselisihan mengenai bacaan Al-Qur’an yang hampir memecah
belah tentara Islam, maka Hudzaifah mengusulkan kepada Khalifah Utsman agar
segera berusaha mempersatukan umat Islam dalam membaca Al-Qur’an.[47]
Menaggapi hal itu, Utsman membentuk panitia penyalinan
Al-Qur’an yang terdiri dari Zaid bin Tsabit
sebagai ketua, dan anggotanya Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, serta
Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.[48]
Dalam pelaksanaan tugas penyalinan mushaf ini, Utsman memberikan rambu-rambu
kepada mereka agar mengambil pedoman pada bacaan mereka yang telah hafal
Al-Qur’an dan menulisnya dengan dialek Quraisy bilamana terdapat perbedaan
pendapat di antara mereka.[49]
Setelah tugas
tersebut rampung, khalifah menggandakan kembali mushaf tersebut dan mengirimnya
ke beberapa daerah sebagai pedoman pokok dalam membaca Al-Qur’an serta menyeru
agar suhuf-suhuf yang berbeda dengan mushaf tersebut dibakar.[50]
3.
Penulisan Al-Qur’an pada masa setelah Khulafa
Al-Rasyidun
Al-Qur’an pada
masa Rasulullah ditulis tanpa tanda baca, hingga pada masa Utsman pun juga
belum ada sehingga mushaf Al-Imam pun juga ditulis tanpa tanda baca. Barulah
pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan sangat banyak orang-orang ’Ajam
yang masuk Islam sehingga terjadi banyak kesalahan dalam membaca Al-Qur’an. Para ulama khawatir, andai saja mushaf Al-Imam
tetap tidak memiliki tanda baca, maka akan kesalahan dalam membaca akan terus
terjadi. Hal itu membuat para ulama terdorong
untuk membuat tanda baca sehingga
menolong para pembaca dalam membaca Al-Qur’an.
Diantara para
ulama yang telah berjasa dalam pemberian tanda baca ialah:[51]
a.
Abdul
Aswad Ad-Dauly, pertama kali memberikan tanda baca berupa titik pada huruf
terakhir pada setiap kata.
b.
Nashr
bin Ashim atas perintah Al-Hajjaj, menyempurnakan usaha Ad-Dauly dengan
memberika titik-titik pada huruf-huruf Al-Qur’an.
c.
Khalil
bin Ahmad, yang pertama memberikan tanda fathah (َ), dhommah (ُ), kasrah (ِ),
sukun (ْ), hamzah, tasydid (ّ), dan ismam.
d.
Dan lainnya.
Selain pemberian tanda baca, bentuk pemeliharaan lainnya,
terutama ketika telah adanya mesin cetak, maka timbullah pemikiran untuk
mencetak Al-Qur’an. Untuk yang pertama kalinya Al-Qur’an dicetak ialah di
Bundukiyah (Vinece) pada tahun 1530 M atau abad ke-10 Hijriyyah, namun
kekuasaan Gereja memerintahkan agar Al-Qur’an yang telah dicetak dimusnahkan.
Baru kemudian Hankelman mencetak Al-Qur’an di kota Hamburg (Jerman) pada tahun
1694 M atau abad ke-12 H.[52]
Pada zaman ini jutaan lebih Al-Qur’an telah dicetak,
serta di beberapa negara, terutama negara muslim atau yang penduduknya
mayoritas muslim, seperti di Indonesia, terdapat banyak sekali pondok pesantren
yang mengusahakan penghapalan Al-Qur’an bagi santrinya, selain itu pemerintah
juga membentuk tim pentashih Al-Qur’an yang akan dicetak dan diedarkan sehingga
terhindar dari kesalahan baik disengaja maupun tidak. Serta banyak lagi usaha
menjaga dan memelihara Al-Qur’an yang lainnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Para ahli berbeda pendapat dalam menjelaskan definisi
Al-Qur’an secara kebahasaan (etimologi). Asy-Syafi’i mengatakan kata Al-Qur’an
tidak berasal dari akar kata apapun, merupakan nama bagi kitab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana nama Taurat dan Injil. Al-Farra
berpendapat lafaz Al-Qur’an pecahan dari kata Qarain yang berarti
kaitan. Az-Zajjaj berpendapat kata Al-Qur’an berasal dari kata Qar’un
yang bermakna Jam’un yang artinnya kumpul. Al-Lihyani mengemukakan kata
Al-Qur’an berasal dari kata Qa-ra-a yang berarti membaca.
Sedangkan secara terminologi ialah “Kalam Allah yang
mukjiz (mengandung mukjizat), diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir
(Muhammad SAW) melalui perantaraan Al-Amin (malaikat Jibrir A.S), ditulis dalam
lembaran-lembaran, sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dipandang
beribadah membacanya, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Naas.”
Al-Qur’an mengalami tiga tahap penurunan yaitu dari Allah
ke Al-Lauh Al-Mahfuzh secara sekaligus, dari Al-Lauh Al-Mahfuzh ke Bait
Al-Izzah atau Langit Dunia dan Tahap ketiga dari langit dunia kepada Nabi
Muhammad SAW dengan berangsur-angsur. Hikmah yang terkandung banyak sekali,
seperti memudahkan menghapal, menguatkan hati Nabi, memberikan jawaban serta
hukum, menunjukan keaslian wahyu Ilahi serta lainnya.
Pemeliharaan pada masa Nabi sebatas pada penulisannya
pada beberapa benda, sifatnya masih terpisah-pisah. Pada masa Abu Bakar,
Al-Qur’an dikumpulkan menjadi satu dengan syarat persaksian dua orang serta
ditulus di depan Nabi. Pada masa Utsman, terjadi penyeragaman dialek pembacaan
Al-Qur’an sehingga umat Islam terhindar dari perpecahan. Barulah pada masa
selanjutnya dilakukan penambahan tanda baca serta pada zaman moderen dilakukan
pencetakan Al-Qur’an dan penghapalannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahhannya.
Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta:
Depag, 2009
H. Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir,
Bandung: Pustaka Setia, 2006
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari;
Penjelasan Kitab Sahih Al-Bukhari, terj. Oleh Amiruddin, vol.24, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008
Ibrahim Al-Abyasi, Sejarah Al-Qur’an,
terj. Oleh Ramli Harun, Jakarta: DEPDIKBUD, 1996
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an;
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, Bandung: Mizan,1996
M.M. A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an; Dari
Wahyu Sampai Kompilasinya, E-book, 2005.
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi
Ulumul Qur’an; Telaah Atas Mushaf Utsmani, terj. Oleh Taufiqurrahman,
Bandung: Pustaka Setia, 2003
RS. Abdul Aziz, Pelajaran Tafsir Ilmu
Tafsir, Semarang: Wicaksana, 1991
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004
Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran dan
Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, 2002
[6] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran dan Pengenalan Metodologi Tafsir,
(Bandung: Pustaka Islamika, 2002) hlm.33
[8] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta:
Depag, 2009) hlm.199
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan,1996) hlm.1-2
[12] Q.S. Al-Buruj
(85):21-22
[14] Q.S. Al-Baqarah
(2):185
[15] Q.S. Ad-Dukhan
(44):3
[16] Q.S. Al-Qadr
(97):1
[29] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari; Penjelasan Kitab Sahih Al-Bukhari,
terj. Oleh Amiruddin, vol.24 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) hlm.731
[30] M.M. A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an; Dari Wahyu Sampai Kompilasinya,
E-book, 2005.
[39] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur’an; Telaah Atas
Mushaf Utsmani, terj. Oleh Taufiqurrahman, (Bandung: Pustaka Setia, 2003) hlm.29
[44] Ibrahim Al-Abyasi, Sejarah Al-Qur’an, terj. Oleh Ramli Harun,
(Jakarta: DEPDIKBUD, 1996) hlm.69
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Ibid,
h.48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar