Senin, 12 Januari 2015

JUAL BELI GHARAR

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Islam merupakan agama yang universal, dalam ajarannya tidak hanya mementingkan aspek ibadah saja melainkan juga memperhatikan aspek sosial. Singkat kata, syari’at islam berorientasi dunia akhirat. Aspek sosial yang diatur di dalam Islam banyak sekali di antaranya aspek sosial dalam bidang ekonomi meliputi di dalamnya jual beli.
Jual Beli merupakan hal yang lumrah dalam keseharian kita, bahkan menjadi penopang utama dalam perekonomian rakyat. Begitu urgennya kegiatan jual beli sehingga Allah pun secara tersurat telah menghalalkan jual beli. Namun di dalam penjelasan Hadits-hadits Nabi, kita temukan banyak sekali jenis jual beli yang dilarang agama. Salah satunya ialah jula beli Gharar.
Jenis jual beli ini telah mutlak diharamkan dalam agama Islam. Banyak hadits-hadits Nabi yang menunjukan keharamannya, selain itu pendapat-pendapat ulama banyak yang meyinggungnya dan memberikan ulasan lebih lengkap dan tajam. Karena dalam beberapa peraktiknya seringkali merugikan ummat, terutama pembeli maka wajarlah diharamkan dan diperhatikan sedemikian rupa. Hal inilah yang membawa kemakmuran pada masyarakat karena berkompetisi dalam hal ekonomi secara sehat. Namun bila kita melihat realita zaman ini, banyak sekali jual beli yang berbentuk gharar ini atau menjurus kepadanya, bahkan banyak di antara mereka yang muslim. Ironisnya lagi, hal tersebut sudah dianggap lumrah-lumrah saja di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya, apakah penjual atau pembeli itu mengetahui bahwa hal itu haram?
Melihat hal ini, rasanya perlu kembali kita membahas apa dan bagaimana sebenarnya suatu jual beli di anggap gharar. Karena, mungkin saja pemahaman tentang jual beli gharar ini masih samar di masyarakat yang menyebabkan praktik gharar tidak begitu diperhatikan. Selain itu munculnya banyak jenis teransaksi jual beli yang baru juga harus kita kaji, apakan itu termasuk gharar atau tidak?

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Diantaranya ialah:
1.      Pengertian Jual Beli Gharar.
2.      Dasar Hukum Keharaman Jual Beli Gharar.
3.      Karakteristik dan Bentuk-Bentuk Jual Beli Gharar.
4.      Analisis dan Refleksi Jula Beli Gharar Masa Kini.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN JUAL BELI GHARAR
Jual beli di dalam bahasa arab dikenal dengan Al-Bai’ yang maknanya mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu serta mencakup makna kebalikannya, yakni Al-Syira’ (membeli).[1]
Gharar secara etimologi berarti keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain.[2]
Sedangkan secara terminologi, para ulama telah memberikan beberapa definisi gharar, diantaranya:
Menururt Imam al-Qrafi, gharar ialah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak.[3] Sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa gharar ialah suatu objek akad yang tidak mampu diserahkan, baik objek itu ada atau tidak.[4]
Definisi di atas tidaklah berbeda, melainkan saling mendukung. Masing-masing menyebutkan karakteristik dari gharar tersebut. Dari definsi di atas, tidak disebutkan bahwa akah tersebut jual beli atau lainnya, yang pasti setiap akad yang mengandung atau berbentuk gharar tidak diperbolehkan, baik itu jual beli, sewa menyewa, ataupun bentuk-bentuk akad lainnya.
Sedangkan Al-Khalaniy[5] mengungkapkan gharar sebagai tipu muslihat yang besar dugaan tidak adanya saling rela antara penjual dan pembeli ketika dalam pelaksanaan jual beli yang sebenarnya, sehingga masing-masing dari kedua belah pihak termasuk orang yang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, baik karena ketidak mampuan menyerahkanobjek jual beli, tidak ada atau tidak diketahuinya objek jual beli, atau belum menjadi milik penjual sepenuhnya.
Maka apabila disandingkan dengan kata jual beli, maknanya mengerucut pada jual beli itu sendiri, sehingga jual beli gharar ialah jual beli yang mengandung ketidak jelasan, penipuan serta usaha untuk merugikan pihak lain.
B.     DASAR HUKUM KEHARAMAN JUAL BELI GHARAR.
Jual beli gharar merupakan bentuk jual beli yang diharamkan dalam agama Islam karena dapat merusak keharmonisan dalam msyarakat, khususnya di antara para penjual dan pembeli. Diantara dalil-dalil keharaman jual beli gharar ialah:
Firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.[6]
Pada ayat di atas, Allah menjelaskan keharaman memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Bathil di sini termasuk melakukan penipuan, kecurangan, transaksi yang tidak jelas, dan sebagainya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.[7]
Sedangkan pada ayat ini, Allah memberikan penjelasan dengan memberikan contoh perbuatan yang tidak bhatil, yakni jual beli dengan jalan suka sama suka, atau adanya keredaan diantara keduanya. Pada jual beli gharar, kerelaan diantara keduanya yaitu pembeli dan penjual sangat jarang terjadi karena barang yang menjadi objek jual beli yang tidak jelas adanya atau pun prosedur pembeliannya yang dapat merugikan kedua belah pihak.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ.
Artinya: “Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu dan tempatnya). (HR Muslim)”[8]
Pada hadits Nabi di atas, dengan jelas bahwa jual beli gharar diharamkan.
C.     KARAKTERISTIK DAN BENTUK-BENTUK JUAL BELI GHARAR.
Jual beli gharar telah diharamkan sejak dahulu sehingga hukumnya pun telah mutlak diharamkan. Namun pada era moderen saat ini muncul bentuk-bentuk jual beli yang mungkin bisa disebut gharar. Agar kita terhindar dari jual beli gharar tersebut, maka dari itu kita mesti mengetahui bagaimana karakteristik dari jual beli gharar tersebut. Diantara karakteristik dari jual beli gahrar ialah:[9]
1.      Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan objek akad pada waktu terjadinya akad, baik objek akad itu sudah ada maupun tidak. Umapamanya menjual burung yang masih ada di udara.
2.      Penjualan barang yang belum berada dalam penguasaan penjual. Seperti menjual ikan yang masih di laut.
3.      Tidak ada kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual.
4.      Tidak ada kepastian tentang sifat tertentu dari barang yang diperjual belikan.
5.      Tidak ada kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar.
6.      Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan objek akad.
7.      Tidak ada ketegasan bentuk transaksi.
8.      Tidak ada kepastian objek akad.
9.      Dan lain-lain.
Imam An-Nawawi menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar bahwa terdapat dua perkara yang  dikecualikan dalam hal gharar ini,[10] yaitu pertama terhadap apa yang masuk ke dalam barang yang diperjualbelikan, karena bila dipisahkan jual beli itu tidak sah. Contoh dari barang tersebut ialah jual beli hewan yang sedang hamil atau hewan yang ada air susunya. Yang kedua ialah sesuatu yang sepertinya dapat ditoleril, baik karena nilainya sangat rendah ataupun karena sulit untuk dibedakan dan dipisahkan. Contoh dari hal ini ialah membeli minuman dengan meminum langsung dari timbanya.
Sedangkan contoh dari bentuk-bentuk jual beli yang termasuk jual beli gharar ialah:[11]
1.      Bai’ al-Hashah, yaitu jual beli dengan melemparkan kerikil. Dahulu, orang-orang jahiliah apabila akan melakukan transaksi jual beli tanah atau sesuatu yang tidak diketahui bendanya, mereka melemparkan kerikil. Sejauh mana kerikil itu jatuh, maka sampai sana tanah yang dijual, atau barang yang terkena lemparan kerikil, maka itulah yang dijual dan pembeli harus membayarnya, suka atau tidak.
2.      Dharbat al-Gha’ish (selaman penyelam), yaitu jual beli benda-benda yang ditemukan oleh penyelam. Di zaman jahiliah ada orang yang membeli barang dari penyelam berupa apa saja yang ditemukannya di dasar laut saat menyelam. Pembeli wajib menyerahkan uang sebagai harga meskipun si penyelam tidak mendapatkan apapun.
3.      Bai’ al-Nitaj (jual beli hasil) yaitu jual beli anak ternak yang masih ada dalam kandungan, termasuk jual beli susu yang belum di perah.
4.      Bai’ al-Mulamasah (saling menyentuh) yaitu jual beli dengan menyentuh pakaian atau barang rekannya, baik itu penjual atau pembeli. Jual beli harus dilakukan diantara keduanya tanpa harus mengetahui kondisi barang tersebut dan tanpa adanya kerelaan.
5.      Bai’ al-Munabadzah (saling membuang) yaitu jual beli dengan masing-masing pihak yang berakad melemparkan apa yang ada padanya dan menjadikan itu sebagai dasar jual beli tanpa ridah keduanya.
6.      Bai’ al-Muhaqalah, yaitu jual beli gandum yang masih ada di bulirnya dengan tepung gandum.
7.      Bai’al-Mudzabanah, yaitu jual beli kurma basah yang masih berada di mayangnya (rathb) dengan kurma kering (tamar).
8.      Bai’ al-Mukhadharah,yaitu jual beli buah yang masih hijau dan berada di pohonnya, tanpa jelas tanda-tanda kematangannya.
9.      Jual beli mentega yang masih berbentuk susu.
10.  Bai’ al-Habali al-Habalah (anak janin), yaitu jual beli terhadap anak janin yang masih berada dalam kandungan. Dahulu orang-orang jahiliah memperjualbelikan binatang yang akan dijadikan sembelihan sampai habali al-habalah, yaitu sesekor unta betina melahirkan anak yang ada di kandungannya, lalu anak yang dilahirkannya itu hamil.
Bentuk-bentuk jual beli tersebut telah diharamkan dalam agama Islam, demikian Sayyid Sabiq menjelaskannya. Bila kita perhatikan, bentuk jual beli yang telah disebutkan di atas, terdapat ketidak jelasan, sehingga rawan akan penipuan serta penyesalan di antara kedua belah pihak. Selain itu, bentuk-bentuk teransaksi gharar dapat menyebabkan atau menimbulkan rasa menyesal dalam diri penjual atau pembeli baikkarean barang yang sangat bagus atau sangat jelek kualitasnya.
D.    ANALISIS DAN REFLEKSI JULA BELI GHARAR MASA KINI.
Zaman ini, banyak sekali muncul bentuk-bentuk jual beli, selain itu terdapat pula beberapa transaksi yang sudah dianggap lumrah di tengah-tengah masyarakat kita. Bila kita perhatikan beberapa diantaranya menjurus atau termasuk kedalam jual beli gharar. Berikut kita akan mencoba membahas beberapa jual beli yang dimaksudkan.
Jual Beli Pemancingan
Jual beli jenis ini banyak kita temukan pada masyarakat kita. Umumnya orang yang akan membeli ikan membayar sejumlah uang kepada pemilik pemancingan dan barulah diizinkan untuk memancing ikan dengan waktu tertentu. Bila kita perhatikan bentuk transaksi ini maka hal ini bisa termasuk jual beli gharar karena objek jual beli berupa ikan belum pasti karena masih ada di dalam kolam. Selain itu jika si pemancing tidak mendapatkan ikan atau mendapatkan ikan sedikit maka akan timbul penyesalan pada diri si pemancing. Sebaliknya, bila si pemancing mendapatkan ikan yang sangat banyak, maka pemilik kolam pemancingan tentu akan menyesal juga karena harga yang diberikan tidak sepadan dengan ikan yang didapatkan.
Bila akad yang digunakan ialah sewa peralatan pemancingan maka hal itu tidaklah mengapa, selain itu sesuangguhnya masih ada alternatif yang lebih baik seperti pembayaran dilakukan setelah melihat atau menimbang ikan yang didapatkan dengan bayaran yang sesuai. Hal ini tentu lebih baik bagi kedua belah pihak.
Jual Beli Kartu “Bom”
Akhir-akhir ini kita banyak menyaksikan di sekitar kita terutama pedagang warung atau kecil-kecilan menjual sebuah lembaran yang terdapat bundaran-bundaran kecil dalam sebuah kotak-kotak yang sering diperdagangkan kepada anak-anak kecil. Benda yang dimaksudkan ialah kartu “bom”. Kartu ini tidak dapat meledak seperti halnya namanya, melainkan sebuah lembaran kertas yang di salah satu permukaannya terdapat bundaran-bundaran karbon yang bisa digosok. Jumlah bundarannya kira-kira 6-9 bundaran. Di bawah bundaran karbon tersebut terdapat beberapa gambar yang bervareasi dan salah satunya terdapat gambar bom, sehingga lembaran tersebut dinamakan kartu bom.
Biasanya kartu ini diperjual belikan kepada anak-anak untuk digosok dengan aturan gambar bom tidak boleh tergosok. Bila berhasil maka kartu tersebut bisa ditukar kembali kepada pedangang yang bersangkutan dengan imbalan yang ditentukan si pedagang. Bentuk imbalannya bisa berupa barang atau uang.
Bila kita cermati, jual beli tersebut bisa dikatakan jual beli gharar karena manfaat atau kegunaan objek dari jual beli tersebut tidak jelas dan bersifat untung-untungan. Selain itu, metode yang digunakan dalam mendapatkan imbalan mengarah kepada perbuatan judi (maisir) yang jelas diharamkan dalam Islam. Kalaupun dijual dengan tanpa menawarkan imbalan, dalam artian gambar bom terhapus atau tidak, tidak menyebabkan apa-apa alias dijual hanya untuk bersenang-senang belaka, itu pun tidaklah baik karena akan mengarah kepada penghambur-hamburan harta ke arah hal yang tidak bermanfaat serta membiasakan sifat mencari dengan jalan untung-untungan tanpa mau bekerja keras. Ditambah lagi sasaran konsumen dari kartu bom ini ialah anak-anak, maka seolah-olah kita mengajarkan untuk menghamburkan harta dan berjudi.
Jual Beli Buah-Buahan Yang Masih Di Pohonnya
Di daerah perkebunan yang tidak memiliki pasar tetap atau di daerah desa atau pelosok, seringkali kita menemukan jual beli model ini. Biasanya pembeli yang berkeliling dari desa ke desa, kebun ke kebuh atau ladang keladang untuk mencari pohon-pohon buah yang sedang berbuah atau bahkan masih berbunga. Selanjutnya bila telah menemukan pohon-pohon buah tersebut, pembeli tersebut mencari pemiliknya untuk melakuan kesepakatan jual beli. Bila kesepakatan terlaksana, maka pohon  tersebut diberikan tanda atau dalam istilah sasaknya “te saweq”.
Bila kita mencermati prosedur pembeliannya, jual beli model ini bisa dikategorikan gharar. Hal itu karena objek jual beli yang berupa buah-buahan tersebut bersifat tidak jelas; tidak jelas kuantitasnya, tidak jelas kualitasnya. Karena pembeli biasanya hanya memperkirakan saja kualitas atau kuantitasnya tanpa langsung menelitinya. Terlebih lagi bila buah tersebut dibeli ketika masih muda atau masih berupa bunga, maka tidak ada kepastian terhadap kualitas dan kuantitasnya. Di lain sisi, terdapat kemungkinan yang bisa menimbulkan penyesalan dikedua belah pihak. Umpamanya buah yang bisa dipanen terlalu sedikit, maka penyesalan sangat mungkin akan timbul di pihak pembeli. Sebaliknya, apabila buah yang dapat dipanen melimpah, jauh dari harganya, maka penyesalan ada pada pihak penjual.
Akan lebih baik apabila penjual menjual buanhya setelah dipetik sehingga kualitas serta kuantitasnya jelas dan tidak menimbulkan penyesalan dikemudian hari.
Demikianlah beberapa contoh jual beli gharar yang masih banyak terjadi di sekitar kita.







BAB III
PENUTUP
Jual Beli Gharar ialah jual beli yang mengandung ketidak jelasan; yang besar dugaan tidak adanya saling rela antara penjual dan pembeli ketika dalam pelaksanaan jual beli yang sebenarnya, atau yang mengandung penipuan serta usaha untuk merugikan pihak lain.
Jual beli gharar telah diharamkan. Dalil keharamannya ada yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi serta ijma para ulama. Namun ada dua pengecualian, yakni pada apa yang masuk ke dalam barang yang diperjualbelikan, karena bila dipisahkan jual beli itu tidak sah dan sesuatu yang sepertinya dapat ditoleril, baik karena nilainya sangat rendah ataupun karena sulit untuk dibedakan dan dipisahkan.
Karakteristik dari jual beli gharar ini ialah Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan objek akad pada waktu terjadinya akad, Tidak ada kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual, Tidak ada kepastian tentang sifat tertentu dari barang yang diperjual belikan, Tidak ada kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar, Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan objek akad, Tidak ada ketegasan bentuk transaksi,Tidak ada kepastian objek akad, dan lainnya.
Sedangkan diantara contoh jual beli gharar yang telah disebutkan oelh para ulama ialah Bai’ al-Hashah, Dharbat al-Gha’ish (selaman penyelam), Bai’ al-Nitaj (jual beli hasil), Bai’ al-Mulamasah (saling menyentuh), Bai’ al-Munabadzah (saling membuang), Bai’ al-Muhaqalah, Bai’al-Mudzabanah, Bai’ al-Mukhadharah, dan Bai’ al-Habali al-Habalah (anak janin).
Pada masa sekarangpun masih terdapat jual beli yang bersifat gharar bahkan kebanyakan pelakunya ialah umat Islam sendiri dan hal tersebut dianggap lumrah-lumrah saja seperti jual beli pemancingan, jualbeli kartu bom, jual beli buah dipohonnya, dan sebagainya.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Mu’amalah Kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh Al-Maram min Adillah Al-Ahkam, tt: Alharomain Jaya Indonesia, tt

____________________, Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, terj. Oleh Amiruddin, vol.12, Jakarta: Pustaka Azzam, 2005

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Peersada, 2004

Muhammad bin Isma’il Al-Khalaniy, Subulussalam, terj. Oleh Abubakar Muhammad, vol-III Surabaya: Al-Ikhlas, 1995

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. Oleh Mujahidin Muhayan, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011




[1] Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Mu’amalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) hlm.119
[2] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Peersada, 2004) hlm.147
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Muhammad bin Isma’il Al-Khalaniy, Subulussalam, terj. Oleh Abubakar Muhammad, vol-III (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995) hlm.53
[6] Al-Qur’an Al-Karim, surah Al-Baqarah (2), ayat ke-188
[7] Q.S. An-Nissa (4): 29
[8] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh Al-Maram min Adillah Al-Ahkam, (tt: Alharomain Jaya Indonesia, tt). Hlm.171
[9] Hasan, Berbagai Macam….., h.148
[10] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, terj. Oleh Amiruddin, vol.12, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005) hlm.217
[11] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. Oleh Mujahidin Muhayan, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011) hlm.60-61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar