Rabu, 14 Januari 2015

PERJANJIAN DALAM ISLAM

MAKALAH PERJANJIAN ISLAM

OLEH:
ASHGOR KAMAL
(152111004)
JURUSAN MU'AMALAH
FAKULTAS SYARI'AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
MATARAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Perbankan Syari’ah sedang mengalami naik daun dan mulai dilirik oleh para investor dan bisnisment. Banyak bank konvensional yang membuka Unit Usaha Syari’ah dan mulai bermunculan bank baru yang berlabelkan syari’ah. Maka saat ini kita tidak kesulitan lagi untuk menemukan bank yang berlabelkan syari’ah. Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang perbankan syari’ah yang artinya pelayanan dengan menggunakan nilai-nilai syari’ah dalam ranah perbankan telah mendapat legalitas hukum.
Hal ini tentu tidak terlepas dari sistem yang melandasi kegiatan dalam perbankan syari’ah tersebut. Bila kita memperhatikan maka kitakan mendapati bahwa landasan utama dari kegiatan perbankan syari’ah ialah hukum perjanjian dalam Islam. Mulai dari pernghimpunan dan, pengelolaan, penyaluran hingga perolehan dan pembagian penghasilan, sebagian besar mengacu pada hukum perjanjian Islam.
Maka bila kita ingin mengetahui seberapa jauh suatu perbankan sayri’ah melaksanakan aspek syari’ah tersebut, kita perlu mengerti dan memahami landasannya yakni hukum perjanjian Islam. Apa yang dimaksud perjanjian Islam, bagaimana keabsahannya. Apa saja asas-asas yang melandasinya serta klasifikasi dari perjanjian Islam. Yang lebih penting ialah bagaimana implementasinya di dalam perbankan syari’ah.
B.     RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, pemakalah dapat merumuskan beberapa masalah yang akan menjadi pokok bahasan kita pada makalah ini, yaitu:
1.      Hal Ihwal Perjanjian Islam.
2.      Asas-Asas Perjanjian Islam.
3.      Implementasi Perjanjian Islam Dalam Perbankan Syari’ah.


BAB II
PEMBAHASAN
Islam sebagai agama yang universal mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, dari hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam (lingkungan). Hubungan manusia dengan manusia yang merupakan kunci dari makmurnya dunia ini perlu diatur dengan aturan yang dapat membawa kemakmuran tersebut. Maka dari itu diturunkanlah berbagai aturan di dalam Islam yang mengatur tingkah laku manusia di muka bumi ini, termasuk aturan dalam melakukan suatu perjanjian.
A.    PENGERTIAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM
Terdapat setidaknya dua istilah yang yang berhubungan dengan perjanjian di dalam Al-Qur’an, yakni kata Al-‘Aqdu (akad) dan Al-‘Ahdu (perjanjian).[1] Istilah akad secara etimologi berarti ikatan atau mengikat,[2] sedangkan secara terminologi terdapat berbagai definisi dari para ahli. Al-‘Ahdu merupakan suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.[3] Sedangkan di dalam literatur Ilmu Hukum terdapat beberapa term yang mirip dengan hukum perjanjian diantaranya, hukum perikatan, hukum perutangan, dan hukum kontrak.[4] Namun yang akan menjadi dasar pembahasan dalam hal ini ialah perjanjian di dalam Islam yang erat kaiatnnya dengan aplikasi perbankan syari’ah.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa istilah perjanjian  di dalam Islam dikenal dengan al-‘aqdu dan al-‘ahdu. Al-‘Ahdu juga disebut dengan Wa’ad,[5] yaitu janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, dalam hal ini kewajiban hanya mengikat satu pihak yakni yang berjanji dengan akibat timbulnya kewajiban untuk memenuhi janjinya tersebut, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya.[6]
Akad seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa makna etimologisnya ialah ikatan atau mengikat, sedangkan terminologinya secara khusus ialah keterkaitan antara Ijab (pernyataan penawaran) dan Qabul (pernyataan penerimaan) dalam lingkup yang disyari’atkan dan berpengaruh pada sesuatu.[7] Sedangkan pengertiannya secara umum ialah sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan sesuatu walaupun muncul dari satu pihak.[8] Bila kita melihat pengertian akad secara khusus, maka kita akan mendapati kesesuaian dengan perjanjian, hanya saja ruang lingkup akad lebih luas dibanding perjanjian terutama hal yang terkait dengan aplikasi dalam perbankan syari’ah, yakni lebih menjurus pada perjanjian menyangkut aspek material atau kebendaan (perikatan).
Sebenarnya terdapat istilah yang mirip dengan akad dan digunakan untuk menyebut perikatan secara keseluruhan, yakni Iltizam.[9] Semula dalam hukum Islam Pra modern, istilah iltizam hanya dipakai untuk menunjukan perikatan yang timbul dari kehendak sepihak saja, hanya saja, kadang-kadang digunakan dalam arti perikatan yang timbul dari perjanjian.[10]
Sedangkan Hukum Perjanjian Islam lebih dikenal dengan istilah Al-‘Aqdu, yang mana mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
B.     KEABSAHAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM
Keabsahan suatu perjanjian terletak pada terpenuhinya syarat serta rukun dari perjanjian tersebut. Selain dari kedua hal tersebut, di dalam agama Islam, hal-hal di luar akad bisa mempengaruhi keabsahan akad seperti tujuan akad.
Adapun syarat dari akad dibedakan menjadi empat macam, yaitu:[11]
1.      Syarat Terbentuknya Akad (syuruth al-in’iqad)
2.      Syarat Keabsahan Akad (syuruth ash-shihhah)
3.      Syarat Berlakunya Akibat Hukum Akad (syuruth an-nafadz)
4.      Syarat Mengikatnya Akad (syuruth al-luzum)
Sedangkan rukun yang merupakan unsur dari terbentuknya sesuatu di dalam perjanjian (akad) ialah para pihak, shigat akad, dan objek akad.[12] Rukun akad harus memenuhi syarat-syarat yang ada agar dapat berfungsi membentuk akad.[13]
Rukun pertama dari akad ialah para pihak. Akad tidak akan terjadi bila tidak ada pihak yang melangsungkan akad tersebut. Demi berfungsinya para pihak di dalam suatu akad maka para pihak harus memenuhi syarat yang ada. Diantara syarat bagi rukun para pihak ialah tamyiz (cakap hukum) dan berbilang pihak.[14] Tamyiz merupakan keadaan pihak yang bisa atau cakap menerima dan berbuat hukum. Akad orang gila tidaklah sah karena orang gila tidak cakap dalam berbuat hukum ataupun tidak cakap dalam menerima (tidak layak) hukum. Berbilang para pihak maksudnya ialah pihak yang melakukan akad lebih dari satu orang. Mengingat definisi akad ialah suatu serah terima, maka tidak akan terjadi suatu serah terima bila hanya ada satu orang. Serah terima bisa terjadi bila pihak yang melakukan akad lebih dari satu, satu pihak sebagai pengucap ijab (penyerah) dan lainnya sebagai pengucap qabul (penerima). Kedua syarat ini (tamyiz dan berbilang para pihak) disebut sebagai syuruth al-in’iqad.[15]
Rukun kedua dari akad ialah shigat akad, yakni ucapan serah terima diantara para pihak. Rukun kedua ini merupakan rukun pokok dalam suatu akad karena menunjuka tujuan dari akad tersebut. Namun untuk berfungsinya suatu shigat harus memenuhi beberapa syarat, yaitu jelas maksudnya, sesuai antara ijab dan qabul, dan bersambung antara ijab dan qabul,[16] serta tidak terpaksa dalam mengucapkannya. Dalam penyampaian ijab ataupun qabul harus jelas apa yang dimaksud, minimal oleh kedua belah pihak. Persesuaian antara ijab dan qabul juga menentukan sahnya shigat akad, karena bila ijab tidak sesuai dengan qabul, maka tidaklah terjadi pertalian di antara keduanya. Mengenai bersambungnya ijab dan qabul, lebih mengarah pada waktu antara pengucapan ijab dan jawaban qabul. Namun di dalam suatu akad kadangkala qabul harus segera diucapkan setelah ijab dan kadangkala pada jenis akad yang lain terdapat waktu yang renggang antara kedaunya karena adanya hak khiyar. Keadaan pihak dalam mengucapkan ijab dan qabul, oleh sebagian ahli dimasukan dalam syarat bagi para pihak. Namun pengucapan yang didasari oleh keadaan terpaksa bisa membatalkan shigat akad tersebut.
Rukun ketiga dari akad ialah objek akad. Akad tidak akan ada bila tidak ada objek dari akad tersebut. Hal ini dikarenakan objek akad sebagai tujuan dari diadakannya akad tersebut. Agar rukun ketiga ini bisa membawa keabsahan terhadap akad, maka harus memenuhi beberapa syarat, yaitu dapat diserahkan atau dilaksanakan, objek harus tertentu dan/atau dapat ditentukan, dapat ditransaksikan secara syarak.[17] Objek akad harus dapat diserahkan bila berbentuk benda seperti dalam jual beli dan dapat dinikmati atau diambil manfaatnya apabila akadnya bukan mengenai perpindahan kepemilikan seperti dalam sewa-menyewa serta bisa dilaksanakan bila berupa jasa.[18] Bila suatu objek akad tidak bisa memenuhi persayratan ini, maka dalam akad berpotensi terjadinya unsur garar (penipuan). Objek harus tertentu atau dapat ditentukan dalam artian objek akad harus jelas. Bila tidak jelas, maka akan menyerupai judi. Selain itu, bila objek akadnya tidak jelas dapat menimbulkan persengketaan di belakang hari. Objek dapat ditransaksikan secara syarak maksudnya ialah di dalam objek akad tidak ada hal-hal yang dilarang agama atau bukan zat yang dilarang agama seperti memperjual belikan khomer, menyewakan istri kepada orang lain, atau menyewa jasa untuk berbuat dosa seperti menyewa pembunuh. Bila syarat ini tidak terpenuhi, akad mungkin saja berjalan, namun secara syarak akad tersebut batal dan harus dibatalkan.
C.     ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN ISLAM
Hukum perjanjian Islam yang berlandaskan dengan Al-Qur’an dan Hadits serta sumber hukum lainnya yang sesuai dengan ruh dan jiwa hukum Islam itu sendiri. Dalam hal perjanjian Islam, terdapat asas-asas yang melandasi suatu perjanjian sehingga dapat disebut sebagai perjanjian yang islami. Diantara asas-asas tersebut ialah asas Ibahah, asas Kebebasan Berakad, asas Konsensualisme, asas Mengikatnya Akad, asas Keseimbangan, asas Kemaslahatan, asas Amanah, dan asas Keadilan.[19]
Asas Ibahah merupakan asas hukum dalam bidang muamalah secara umum.[20] Asas ini sesuai dengan kaidah yang menyebutkan bahwa asal hukum segala bentuk muamalah ialah boleh atau dibolehkan, selama tidak adanya dalail atau qarinah yang menunjukan kepada keharamannya atau yang dapat membuatnya berubah menjadi haram. Umpamanya jual beli merupakan akad yang dibolehkan, namun karena adanya unsur yang menunjukannya kepada perbuatan yang haram seperti memperjualbelikan barang haram (khamer, bangkai, dll) maka hukum yang tadinya dibolehkan berubah menjadi diharamkan lantaran hal tersebut. Hal ini menunjukan bahwa dalam aspek muamalah kita diberikan kebebasan untuk berekspresi dan mengmbangkan bentuk akad yang akan kita lakukan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kita.
Asas Kebebasan Berakad ialah kebebasan dalam membentuk akad apa yang diinginkannya, baik dari segi nama, bentuk dan syarat yang diajukan selama tidak melangggar aturan pokok dalam akad. Umpamanya dalam hal perserikatan, para pihak bebas menentuka bentuk dari perserikatan, aturan-aturannya, syarat-syarat, serta hal lainnya selama tidak mengandung unsur-unsur yang haram atau membawanya kepada yang haram seperti bebas dari eksploitasi satu pihak terhadap pihak lainnya.
Asas Konsensualisme merupakan asas yang menunjukan bahwa untuk tercapainya suatu akad, cukup dengan tercapainya kata sepakat diantara para pihak.[21] Asas ini menunjukan bahwa para pihak berhak untuk membuat atau tidak membuat suatu akad atau menunjukan bahwa para pihak tidak dalam keadaan terpaksa. Bila asas ini tidak terlaksana maka akad tidak akan berjalan. Namun adapula akad yang terjadi dari akibat tanggungjawab, sehingga dalam hal ini, mau tidak mau, pihak yang bersangkutan harus menerima dan setuju terhadap akad tersebut.
Asas Mengikatnya Akad merupaka asas yang menunjukan akibat dari suatu akad (perjanjian). Dengan terlaksanaknnya akad, maka menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Kewajiban yang timbul harus dipenuhi oleh para pihak. Umpamanya didalam akad jual beli, bila kedua belah pihak telah sepakat untuk berjualbeli, maka penjual wajib menyerahkan barang yang dijualnya dan berhak atas harga barang tersebut. Di lain sisi, pembeli berkewajiban untuk memberikan bayaran atas harga barang tersebut dan berhak atas barang itu juga. Asas ini hanya berlaku bagi kedua belah pihak atau orang-orang yang terlibat dalam akad tersebut.
Dalam Hukum Perjanjian Islam, dikenal adanya Asas Keseimbangan. Asas ini mengindikasikan perlunya keseimbangan, baik keseimbangan di dalam apa yang diberikan dengan apa yang diterima ataupun dalam menanggung resiko yang mungkin terjadi. Hal ini untuk menghindari terjadinya ekploitasi kaum yang kuat terhadap yang lemah. Umpamanya di dalam syirkah, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama berdasarkan modal yang dikeluarkan, bila asas ini tidak terpenuhi, maka bisa menimbulkan penindasan oleh satu pihak kepada pihak lainnya.
Asas kemaslahatan merupakan asas yang melandasi suatu akad dalam hal tujuan dan pelaksanaannya. Dalam melakukan suatu akad, hendaklah didasari pada kemaslahatan yang akan dicapai. Jadi suatu akad tidak boleh menimbulkan kemudaratan ataupun kesukaran (masaqat) bagi para pihak ataupun orang lainnya.
Asas amanah merupakan asas yang melandasi dalam pelaksanaan akad, yang mana dalam melakukan kewajiban hendaklah memandangnya sebagai suatu amanah yang harus di jaga dan dilakukan. Asas ini mendorong para pihak untuk melakukan sesuatunya dengan jujur tanpa menutup-nutupi sesuatu apapun. Bila asas ini tidak terpenuhi, maka di dalam pelaksanaan akad terdapat potrnsi untuk saling menipu satu sama lain.
D.    KLASIFIKASI HUKUM PERJANJIAN ISLAM
Akad dapat dibedakan menjadi berbagi macam, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Dalam hal kaitannya dengan aplikasi dalam perbankan syari’ah, akad dilihat dari ada atau tidak adanya konpensasi (keuntungan) yang akan diperoleh. Dalam hal ini, Fiqih Muamalah membagi akad kepada dua bentuk, yaitu akad Tabarru’ dan akad Tijarah.[22]
Akad Tabarru’ ialah akad yang berbentuk nirlab,[23] yang artinya tujuan dari akad ini bukanlah keuntungan komersil, akad ini lebih mengarah pada aspek sosial atau tolong-menolong (ta’awun). Akad ini pada dasarnya hanya untuk mencari pahala dari Allah, dan berorientasi pada akhirat sehingga apabila di dalam implementasinya dilakukan dengan mengambil keuntungan komersil, maka akadnya keluar dari akad tabarru’ dan menjadi akad tijarah.[24] Namun biarpun demikian, di dalam Islam dibolehkan mengambil atau meminta penggantian biaya dalam melaksanakan akad tabarru’ tersebut karena pelaksana dari akad ini tidak diwajibkan untuk menanggung biaya yang timbul dari pelaksanaannya.[25] Umpamanya, kita dibolehkan meminta biaya perawatan barang yang digadai.
Sedangkan akad Tijarah merupakan akad yang tujuannya untuk memperoleh keuntungan komersil.[26] Dalam akad ini, terdapat prestasi yang bersifat timbal balik sehingga kedua belah pihak menerima sesuatu sebagai imbalan atas prestasi tyang diberikannya.[27] Contoh dari akad ini ialah jual beli, sewa menyewa, syirkah dan lainnya.
E.     BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Suatu perjanjian berakhir bisa karena beberapa sebab yaitu telah tercapainya tujuan dari akad tersebut, habisnya waktu berlaku akad tersebut atau karena adanya pembatalan akad tersebut.
Berakhirnya akad karena telah tercapainya tujuan terjadi bila masing-masing pihak telah melaksanakan kewajibannya dan mendapatkan haknya. Dengan habinya hak dan kewajiban di antara para pihak, maka ikatan antara keduanyapun berakhir, tidak adalagi hubungan antara keduanya karena telah mendapatkan apa yang menjadai tujuan mereka. Contoh dari berakhirnya akad karena telah terpenuhinya tujuan ialah dalam jual beli. Bila penjual telah menyerahkan barang dagangannya dan menerima harga dari barang dagangnanya itu, dan pembeli telah menyerahkan harga barang yang dibelinya dan menerima barang yang dibelinya, maka seketika itu akadnya berakhir, dan tidak ada ikatan lagi antara keduanya.
Bila suatu akad atau perjanjian didasarkan pada waktu, maka habisnya waktu perjanjian tersebut menjadi penanda berakhirnya akad. Dalam hal ini, perjanjian atau akad, mau atau tidak mau, harus dibatalkan, walaupun tujuan dari akad tersebut belum tercapai sepenuhnya. Akad hanya bisa dilanjutkan apabila ada pembaharuan akad, artinya dibuat akad yang lain dari akad yang pertama, walaupun jenis akadnya sama. Umpamanya seseorang menyewa motor untuk digunakan ke suatu tempat, dan akad sewa menyewanya didasarkan pada waktu dalam artian harus dikembalikan lagi bila telah jatuh tempo. Apabila telah jatuh tempo, maka motor tersebut harus dikembalikan, walaupun belum digunakan ke tempat yang diinginkan tersebut.
Hal lain yang menjadi akhir dari perjanjian ialah pembatalan perjanjian tersebut. Pembatalan dapat terjadi karena kehendak kedua belah pihak, atau karena terjadinya kecurangan dari salah satu pihak.
F.      IMPLEMENTASI HUKUM PERJANJIAN ISLAM DALAM PRODUK PERBANKAN SYARI’AH
Perbankan syari’ah dalam implementasinya memiliki beberapa produk yang dapat digolongkan kedalam produk penghimpunan dana (funding) dan produk penyaluran dana (financing) serta produk jasa (service).[28]
1.      Produk penghimpun dana (funding)
a.    Simpanan wadiah
Akad wadiah terbagi menjadi dua bentuk. Dua bentuk itu adalah wadiah dan wadiah yad dhamanah. Karena produk ini menggunakan prinsip wadiah maka aset atau titipan tersebut boleh digunakan atau dimanfaatkan oleh pihak bank untuk kegiatan operasional. Nasabah penyimpan bisa mendapatkan imbalan dari harta titipan tersebut. Tabungan berdasarkan prinsip wadiah ini dapat dilakukan penarikan setiap saat berdasarkan syarat-syarat yang disepakati.
b.   Simpanan mudharabah
Akad mudharabah ini yang diterapkan adalah mudharabah mutlhlaqah, mudharabah mutlhaqah ini adalah dana simpanan nasabah yang akan dikelola oleh bank untuk memperoleh keuntungan dengan sistem bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun, nasabah tidak memberikan persyaratan apapun kepada bank, kepada bisnis apa dana tersebut akan disalurkan.
2.      Produk penyaluran dana (financing)
a.    Natural uncertainty contracts (NUC)
Pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya menjadi satu kesatuan dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah:
1.      Pembiayaan mudharabah
Pembiayaan mudharabah adalah menyediakan pembiayaan modal kerja atau modal investasi secara penuh, sedangkan nasabah yang menyediakan proyek atau usaha lengkap dengan manajemennya. Pada saat jatuh tempo nasabah wajib mengembalikan modal ke bank baik dengan dicicil atau dilunasi seluruhnya.
2.      Pembiayaan musyarakah
Yaitu pembiayaan sebagian dari modal usaha pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya, pembagian keuntungan ditentukan dalam perjanjian sesuai dengan proporsi masing-masing pihak, yakni antara bank dan nasabah penerima modal.
b.   Natural certainty contracts (NCC)
Kedua belah pihak saling menukarkan aset yang dimilikinya, karena objek pertukarannya barang maupun jasa harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlah, mutu, harga dan waktu penyerahannya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah:
1.      Pembiayaan murabahah
Adalah pembiayaan untuk membeli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Contohnya pembelian alat-alat kedokteran.

2.      Istisna’
Pembiayaan istisna’ bentu pembiayaan manufaktur, industri kecil-menengah dan konstruksi. Dalam pembiayaan ini kriteria barang pesanan harus ada kejelasan mengenai jenis, macam, ukuran dan jumlah pesanan. Pembiayaan ini dapat dilakukan dengan dua cara, pihak produsen ditentukan oleh nasabah atau pihak nasabah yang menentukan produsen. Pelaksanaan tersebut ditentukan dimuka dan dicantumkan dalam akad berdasarkan kesepakatan.
3.      Salam
Pembiayaan berjangka pendek untuk produksi agribisnis atau industri jenis lainnya. Harga jual yang disepakati harus dicantumkan dalam akad, apabila hasil produksi yang diterima cacat maka produsen harus bertanggungjawab dengan cara mengembalikan dana yang telah diterima atau mengganti dengan barang yang sesuai.
4.      Ijarah
Transaksi ijarah adanya perpindahan manfaat bukan perpindahan kepemilikan. Mekanismenya, nasabah menyerahkan uang sewa kepada bank yang telah menyediakan barang sewaan. Sedangkan pemeliharaan atas barang sewaandilakukan berdasarkan hasil kesepakatan.
c.    Produk Jasa (service)
1.      Rahn
Produk ini disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiayaan multiguna, bank hanya mendapatkan imbalan atas penyimpanan, pemeliharaan, asuransi dan administrasi barang yang digadaikan.
2.      Wakalah
Nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan atau jasa, seperti inkaso dan transfer uang. Pemberian kuasa dapat berakhir setelah tugas dilaksanakan  dan disetujui bersama antara nasabah dan bank.
3.      Kafalah
Bank memberikan garansi kepada nasabah, produk ini disediakan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Atas pekerjaan yang dilakukan bank, maka bank akan mendapatkan imbalan (fee).






DAFTAR PUSTAKA
Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006
Adiwarman Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah; Studi Tentang Teori Akad Dalam Fiqih Muamalat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010




[1] Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hlm.45
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid, h.1
[5] Adiwarman Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) hlm.65
[6] Ibid.
[7] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) hlm.35
[8] Ibid.
[9] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah; Studi Tentang Teori Akad Dalam Fiqih Muamalat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) hlm.48
[10] Ibid.
[11] Ibid, h.95
[12] Ascarya, Akad dan.....,h.35
[13] Anwar, Hukum Perjanjian.....,h.97
[14] Ibid,h.108
[15] Ibid,h.97
[16] Ascarya, Akad dan.....,h.35
[17] Anwar, Hukum Perjanjian.....,h.191
[18] Ibid.
[19] Ibid, h.83-92
[20] Ibid,h.83
[21] Ibid,h.87
[22] Karim, Bank Islam.....,h.66
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid,h.70
[27] Anwar, Hukum Perjanjian.....,h.82
[28] Karim, Bank Islam.....,h.97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar