MAKALAH PERJANJIAN ISLAM
OLEH:
ASHGOR KAMAL
(152111004)
JURUSAN MU'AMALAH
FAKULTAS SYARI'AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
MATARAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perbankan Syari’ah sedang mengalami naik daun dan mulai
dilirik oleh para investor dan bisnisment. Banyak bank konvensional yang
membuka Unit Usaha Syari’ah dan mulai bermunculan bank baru yang berlabelkan
syari’ah. Maka saat ini kita tidak kesulitan lagi untuk menemukan bank yang
berlabelkan syari’ah. Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan
undang-undang yang mengatur tentang perbankan syari’ah yang artinya pelayanan
dengan menggunakan nilai-nilai syari’ah dalam ranah perbankan telah mendapat
legalitas hukum.
Hal ini tentu tidak terlepas dari sistem yang melandasi
kegiatan dalam perbankan syari’ah tersebut. Bila kita memperhatikan maka
kitakan mendapati bahwa landasan utama dari kegiatan perbankan syari’ah ialah
hukum perjanjian dalam Islam. Mulai dari pernghimpunan dan, pengelolaan,
penyaluran hingga perolehan dan pembagian penghasilan, sebagian besar mengacu
pada hukum perjanjian Islam.
Maka bila kita ingin mengetahui seberapa jauh suatu
perbankan sayri’ah melaksanakan aspek syari’ah tersebut, kita perlu mengerti
dan memahami landasannya yakni hukum perjanjian Islam. Apa yang dimaksud
perjanjian Islam, bagaimana keabsahannya. Apa saja asas-asas yang melandasinya
serta klasifikasi dari perjanjian Islam. Yang lebih penting ialah bagaimana
implementasinya di dalam perbankan syari’ah.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, pemakalah dapat merumuskan beberapa
masalah yang akan menjadi pokok bahasan kita pada makalah ini, yaitu:
1. Hal Ihwal Perjanjian Islam.
2. Asas-Asas Perjanjian Islam.
3. Implementasi Perjanjian Islam Dalam Perbankan Syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
Islam sebagai agama yang universal mengatur berbagai
aspek kehidupan manusia, dari hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia
dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam (lingkungan). Hubungan manusia
dengan manusia yang merupakan kunci dari makmurnya dunia ini perlu diatur
dengan aturan yang dapat membawa kemakmuran tersebut. Maka dari itu
diturunkanlah berbagai aturan di dalam Islam yang mengatur tingkah laku manusia
di muka bumi ini, termasuk aturan dalam melakukan suatu perjanjian.
A. PENGERTIAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM
Terdapat setidaknya dua istilah yang yang berhubungan
dengan perjanjian di dalam Al-Qur’an, yakni kata Al-‘Aqdu (akad) dan Al-‘Ahdu (perjanjian).[1]
Istilah akad secara etimologi berarti ikatan atau mengikat,[2]
sedangkan secara terminologi terdapat berbagai definisi dari para ahli.
Al-‘Ahdu merupakan suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.[3] Sedangkan di dalam literatur Ilmu Hukum terdapat beberapa term yang mirip
dengan hukum perjanjian diantaranya, hukum perikatan, hukum perutangan, dan
hukum kontrak.[4]
Namun yang akan menjadi dasar pembahasan dalam hal ini ialah perjanjian di
dalam Islam yang erat kaiatnnya dengan aplikasi perbankan syari’ah.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa istilah
perjanjian di dalam Islam dikenal dengan
al-‘aqdu dan al-‘ahdu. Al-‘Ahdu juga disebut dengan Wa’ad,[5]
yaitu janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, dalam hal ini kewajiban
hanya mengikat satu pihak yakni yang berjanji dengan akibat timbulnya kewajiban
untuk memenuhi janjinya tersebut, sedangkan pihak yang diberi janji tidak
memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya.[6]
Akad seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa makna
etimologisnya ialah ikatan atau mengikat, sedangkan terminologinya secara
khusus ialah keterkaitan antara Ijab (pernyataan penawaran) dan Qabul
(pernyataan penerimaan) dalam lingkup yang disyari’atkan dan berpengaruh pada
sesuatu.[7]
Sedangkan pengertiannya secara umum ialah sesuatu yang menjadi tekad seseorang
untuk melaksanakan sesuatu walaupun muncul dari satu pihak.[8]
Bila kita melihat pengertian akad secara khusus, maka kita akan mendapati
kesesuaian dengan perjanjian, hanya saja ruang lingkup akad lebih luas
dibanding perjanjian terutama hal yang terkait dengan aplikasi dalam perbankan
syari’ah, yakni lebih menjurus pada perjanjian menyangkut aspek material atau
kebendaan (perikatan).
Sebenarnya terdapat istilah yang mirip dengan akad dan
digunakan untuk menyebut perikatan secara keseluruhan, yakni Iltizam.[9] Semula
dalam hukum Islam Pra modern, istilah iltizam hanya dipakai untuk menunjukan
perikatan yang timbul dari kehendak sepihak saja, hanya saja, kadang-kadang
digunakan dalam arti perikatan yang timbul dari perjanjian.[10]
Sedangkan Hukum Perjanjian Islam lebih dikenal dengan
istilah Al-‘Aqdu, yang mana mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
B. KEABSAHAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM
Keabsahan suatu perjanjian terletak pada terpenuhinya
syarat serta rukun dari perjanjian tersebut. Selain dari kedua hal tersebut, di
dalam agama Islam, hal-hal di luar akad bisa mempengaruhi keabsahan akad
seperti tujuan akad.
Adapun syarat dari akad dibedakan menjadi empat macam,
yaitu:[11]
1.
Syarat Terbentuknya Akad (syuruth al-in’iqad)
2.
Syarat Keabsahan Akad (syuruth ash-shihhah)
3.
Syarat Berlakunya Akibat Hukum Akad (syuruth
an-nafadz)
4.
Syarat Mengikatnya Akad (syuruth al-luzum)
Sedangkan rukun yang merupakan unsur dari terbentuknya
sesuatu di dalam perjanjian (akad) ialah para pihak, shigat akad, dan objek
akad.[12]
Rukun akad harus memenuhi syarat-syarat yang ada agar dapat berfungsi membentuk
akad.[13]
Rukun pertama dari akad ialah para pihak. Akad tidak akan
terjadi bila tidak ada pihak yang melangsungkan akad tersebut. Demi
berfungsinya para pihak di dalam suatu akad maka para pihak harus memenuhi
syarat yang ada. Diantara syarat bagi rukun para pihak ialah tamyiz (cakap
hukum) dan berbilang pihak.[14]
Tamyiz merupakan keadaan pihak yang bisa atau cakap menerima dan berbuat hukum.
Akad orang gila tidaklah sah karena orang gila tidak cakap dalam berbuat hukum
ataupun tidak cakap dalam menerima (tidak layak) hukum. Berbilang para pihak
maksudnya ialah pihak yang melakukan akad lebih dari satu orang. Mengingat
definisi akad ialah suatu serah terima, maka tidak akan terjadi suatu serah
terima bila hanya ada satu orang. Serah terima bisa terjadi bila pihak yang melakukan
akad lebih dari satu, satu pihak sebagai pengucap ijab (penyerah) dan lainnya
sebagai pengucap qabul (penerima). Kedua syarat ini (tamyiz dan berbilang para
pihak) disebut sebagai syuruth al-in’iqad.[15]
Rukun kedua dari akad ialah shigat akad, yakni ucapan
serah terima diantara para pihak. Rukun kedua ini merupakan rukun pokok dalam
suatu akad karena menunjuka tujuan dari akad tersebut. Namun untuk berfungsinya
suatu shigat harus memenuhi beberapa syarat, yaitu jelas maksudnya, sesuai
antara ijab dan qabul, dan bersambung antara ijab dan qabul,[16]
serta tidak terpaksa dalam mengucapkannya. Dalam penyampaian ijab ataupun qabul
harus jelas apa yang dimaksud, minimal oleh kedua belah pihak. Persesuaian
antara ijab dan qabul juga menentukan sahnya shigat akad, karena bila ijab
tidak sesuai dengan qabul, maka tidaklah terjadi pertalian di antara keduanya.
Mengenai bersambungnya ijab dan qabul, lebih mengarah pada waktu antara
pengucapan ijab dan jawaban qabul. Namun di dalam suatu akad kadangkala qabul
harus segera diucapkan setelah ijab dan kadangkala pada jenis akad yang lain
terdapat waktu yang renggang antara kedaunya karena adanya hak khiyar. Keadaan
pihak dalam mengucapkan ijab dan qabul, oleh sebagian ahli dimasukan dalam
syarat bagi para pihak. Namun pengucapan yang didasari oleh keadaan terpaksa
bisa membatalkan shigat akad tersebut.
Rukun ketiga dari akad ialah objek akad. Akad tidak akan
ada bila tidak ada objek dari akad tersebut. Hal ini dikarenakan objek akad
sebagai tujuan dari diadakannya akad tersebut. Agar rukun ketiga ini bisa
membawa keabsahan terhadap akad, maka harus memenuhi beberapa syarat, yaitu
dapat diserahkan atau dilaksanakan, objek harus tertentu dan/atau dapat ditentukan,
dapat ditransaksikan secara syarak.[17]
Objek akad harus dapat diserahkan bila berbentuk benda seperti dalam jual beli
dan dapat dinikmati atau diambil manfaatnya apabila akadnya bukan mengenai
perpindahan kepemilikan seperti dalam sewa-menyewa serta bisa dilaksanakan bila
berupa jasa.[18]
Bila suatu objek akad tidak bisa memenuhi persayratan ini, maka dalam akad
berpotensi terjadinya unsur garar (penipuan). Objek harus tertentu atau dapat
ditentukan dalam artian objek akad harus jelas. Bila tidak jelas, maka akan
menyerupai judi. Selain itu, bila objek akadnya tidak jelas dapat menimbulkan
persengketaan di belakang hari. Objek dapat ditransaksikan secara syarak
maksudnya ialah di dalam objek akad tidak ada hal-hal yang dilarang agama atau
bukan zat yang dilarang agama seperti memperjual belikan khomer, menyewakan
istri kepada orang lain, atau menyewa jasa untuk berbuat dosa seperti menyewa
pembunuh. Bila syarat ini tidak terpenuhi, akad mungkin saja berjalan, namun
secara syarak akad tersebut batal dan harus dibatalkan.
C. ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN ISLAM
Hukum perjanjian Islam yang berlandaskan dengan Al-Qur’an
dan Hadits serta sumber hukum lainnya yang sesuai dengan ruh dan jiwa hukum
Islam itu sendiri. Dalam hal perjanjian Islam, terdapat asas-asas yang
melandasi suatu perjanjian sehingga dapat disebut sebagai perjanjian yang
islami. Diantara asas-asas tersebut ialah asas Ibahah, asas Kebebasan Berakad, asas
Konsensualisme, asas Mengikatnya Akad, asas Keseimbangan, asas Kemaslahatan,
asas Amanah, dan asas Keadilan.[19]
Asas Ibahah merupakan asas hukum dalam bidang muamalah
secara umum.[20]
Asas ini sesuai dengan kaidah yang menyebutkan bahwa asal hukum segala bentuk
muamalah ialah boleh atau dibolehkan, selama tidak adanya dalail atau qarinah
yang menunjukan kepada keharamannya atau yang dapat membuatnya berubah menjadi
haram. Umpamanya jual beli merupakan akad yang dibolehkan, namun karena adanya
unsur yang menunjukannya kepada perbuatan yang haram seperti memperjualbelikan
barang haram (khamer, bangkai, dll) maka hukum yang tadinya dibolehkan berubah
menjadi diharamkan lantaran hal tersebut. Hal ini menunjukan bahwa dalam aspek
muamalah kita diberikan kebebasan untuk berekspresi dan mengmbangkan bentuk
akad yang akan kita lakukan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kita.
Asas Kebebasan Berakad ialah kebebasan dalam membentuk
akad apa yang diinginkannya, baik dari segi nama, bentuk dan syarat yang
diajukan selama tidak melangggar aturan pokok dalam akad. Umpamanya dalam hal
perserikatan, para pihak bebas menentuka bentuk dari perserikatan,
aturan-aturannya, syarat-syarat, serta hal lainnya selama tidak mengandung
unsur-unsur yang haram atau membawanya kepada yang haram seperti bebas dari
eksploitasi satu pihak terhadap pihak lainnya.
Asas Konsensualisme merupakan asas yang menunjukan bahwa
untuk tercapainya suatu akad, cukup dengan tercapainya kata sepakat diantara
para pihak.[21]
Asas ini menunjukan bahwa para pihak berhak untuk membuat atau tidak membuat
suatu akad atau menunjukan bahwa para pihak tidak dalam keadaan terpaksa. Bila
asas ini tidak terlaksana maka akad tidak akan berjalan. Namun adapula akad
yang terjadi dari akibat tanggungjawab, sehingga dalam hal ini, mau tidak mau,
pihak yang bersangkutan harus menerima dan setuju terhadap akad tersebut.
Asas Mengikatnya Akad merupaka asas yang menunjukan
akibat dari suatu akad (perjanjian). Dengan terlaksanaknnya akad, maka
menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Kewajiban yang timbul harus
dipenuhi oleh para pihak. Umpamanya didalam akad jual beli, bila kedua belah
pihak telah sepakat untuk berjualbeli, maka penjual wajib menyerahkan barang
yang dijualnya dan berhak atas harga barang tersebut. Di lain sisi, pembeli
berkewajiban untuk memberikan bayaran atas harga barang tersebut dan berhak
atas barang itu juga. Asas ini hanya berlaku bagi kedua belah pihak atau
orang-orang yang terlibat dalam akad tersebut.
Dalam Hukum Perjanjian Islam, dikenal adanya Asas
Keseimbangan. Asas ini mengindikasikan perlunya keseimbangan, baik keseimbangan
di dalam apa yang diberikan dengan apa yang diterima ataupun dalam menanggung
resiko yang mungkin terjadi. Hal ini untuk menghindari terjadinya ekploitasi
kaum yang kuat terhadap yang lemah. Umpamanya di dalam syirkah, keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama berdasarkan modal yang dikeluarkan, bila asas ini
tidak terpenuhi, maka bisa menimbulkan penindasan oleh satu pihak kepada pihak
lainnya.
Asas kemaslahatan merupakan asas yang melandasi suatu
akad dalam hal tujuan dan pelaksanaannya. Dalam melakukan suatu akad, hendaklah
didasari pada kemaslahatan yang akan dicapai. Jadi suatu akad tidak boleh
menimbulkan kemudaratan ataupun kesukaran (masaqat) bagi para pihak ataupun
orang lainnya.
Asas amanah merupakan asas yang melandasi dalam
pelaksanaan akad, yang mana dalam melakukan kewajiban hendaklah memandangnya
sebagai suatu amanah yang harus di jaga dan dilakukan. Asas ini mendorong para
pihak untuk melakukan sesuatunya dengan jujur tanpa menutup-nutupi sesuatu
apapun. Bila asas ini tidak terpenuhi, maka di dalam pelaksanaan akad terdapat
potrnsi untuk saling menipu satu sama lain.
D. KLASIFIKASI HUKUM PERJANJIAN ISLAM
Akad dapat dibedakan menjadi berbagi macam, tergantung
dari sudut pandang yang digunakan. Dalam hal kaitannya dengan aplikasi dalam
perbankan syari’ah, akad dilihat dari ada atau tidak adanya konpensasi
(keuntungan) yang akan diperoleh. Dalam hal ini, Fiqih Muamalah membagi akad
kepada dua bentuk, yaitu akad Tabarru’ dan akad Tijarah.[22]
Akad Tabarru’ ialah akad yang berbentuk nirlab,[23]
yang artinya tujuan dari akad ini bukanlah keuntungan komersil, akad ini lebih
mengarah pada aspek sosial atau tolong-menolong (ta’awun). Akad ini pada
dasarnya hanya untuk mencari pahala dari Allah, dan berorientasi pada akhirat
sehingga apabila di dalam implementasinya dilakukan dengan mengambil keuntungan
komersil, maka akadnya keluar dari akad tabarru’ dan menjadi akad tijarah.[24]
Namun biarpun demikian, di dalam Islam dibolehkan mengambil atau meminta
penggantian biaya dalam melaksanakan akad tabarru’ tersebut karena pelaksana
dari akad ini tidak diwajibkan untuk menanggung biaya yang timbul dari
pelaksanaannya.[25]
Umpamanya, kita dibolehkan meminta biaya perawatan barang yang digadai.
Sedangkan akad Tijarah merupakan akad yang tujuannya
untuk memperoleh keuntungan komersil.[26]
Dalam akad ini, terdapat prestasi yang bersifat timbal balik sehingga kedua
belah pihak menerima sesuatu sebagai imbalan atas prestasi tyang diberikannya.[27]
Contoh dari akad ini ialah jual beli, sewa menyewa, syirkah dan lainnya.
E. BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Suatu perjanjian berakhir bisa karena beberapa sebab
yaitu telah tercapainya tujuan dari akad tersebut, habisnya waktu berlaku akad
tersebut atau karena adanya pembatalan akad tersebut.
Berakhirnya akad karena telah tercapainya tujuan terjadi
bila masing-masing pihak telah melaksanakan kewajibannya dan mendapatkan
haknya. Dengan habinya hak dan kewajiban di antara para pihak, maka ikatan
antara keduanyapun berakhir, tidak adalagi hubungan antara keduanya karena
telah mendapatkan apa yang menjadai tujuan mereka. Contoh dari berakhirnya akad
karena telah terpenuhinya tujuan ialah dalam jual beli. Bila penjual telah
menyerahkan barang dagangannya dan menerima harga dari barang dagangnanya itu,
dan pembeli telah menyerahkan harga barang yang dibelinya dan menerima barang
yang dibelinya, maka seketika itu akadnya berakhir, dan tidak ada ikatan lagi antara
keduanya.
Bila suatu akad atau perjanjian didasarkan pada waktu,
maka habisnya waktu perjanjian tersebut menjadi penanda berakhirnya akad. Dalam
hal ini, perjanjian atau akad, mau atau tidak mau, harus dibatalkan, walaupun
tujuan dari akad tersebut belum tercapai sepenuhnya. Akad hanya bisa
dilanjutkan apabila ada pembaharuan akad, artinya dibuat akad yang lain dari
akad yang pertama, walaupun jenis akadnya sama. Umpamanya seseorang menyewa
motor untuk digunakan ke suatu tempat, dan akad sewa menyewanya didasarkan pada
waktu dalam artian harus dikembalikan lagi bila telah jatuh tempo. Apabila
telah jatuh tempo, maka motor tersebut harus dikembalikan, walaupun belum
digunakan ke tempat yang diinginkan tersebut.
Hal lain yang menjadi akhir dari perjanjian ialah
pembatalan perjanjian tersebut. Pembatalan dapat terjadi karena kehendak kedua
belah pihak, atau karena terjadinya kecurangan dari salah satu pihak.
F. IMPLEMENTASI HUKUM PERJANJIAN ISLAM DALAM PRODUK PERBANKAN SYARI’AH
Perbankan syari’ah dalam implementasinya memiliki
beberapa produk yang dapat digolongkan kedalam produk penghimpunan dana
(funding) dan produk penyaluran dana (financing) serta produk jasa (service).[28]
1.
Produk
penghimpun dana (funding)
a.
Simpanan
wadiah
Akad wadiah terbagi menjadi dua bentuk. Dua bentuk itu adalah wadiah
dan wadiah yad dhamanah. Karena produk ini menggunakan prinsip wadiah maka aset
atau titipan tersebut boleh digunakan atau dimanfaatkan oleh pihak bank untuk
kegiatan operasional. Nasabah
penyimpan bisa mendapatkan imbalan dari harta titipan tersebut. Tabungan
berdasarkan prinsip wadiah ini dapat dilakukan penarikan setiap saat
berdasarkan syarat-syarat yang disepakati.
b.
Simpanan
mudharabah
Akad mudharabah ini yang diterapkan adalah mudharabah mutlhlaqah, mudharabah mutlhaqah ini adalah dana simpanan nasabah yang akan
dikelola oleh bank untuk memperoleh keuntungan dengan sistem bagi hasil sesuai
dengan kesepakatan bersama, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan
dana yang dihimpun, nasabah tidak memberikan persyaratan apapun kepada bank, kepada
bisnis apa dana tersebut akan disalurkan.
2. Produk penyaluran dana (financing)
a.
Natural uncertainty
contracts (NUC)
Pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya menjadi satu
kesatuan dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan
keuntungan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah:
1. Pembiayaan mudharabah
Pembiayaan mudharabah adalah menyediakan pembiayaan modal kerja atau modal
investasi secara penuh, sedangkan nasabah yang menyediakan proyek atau usaha
lengkap dengan manajemennya. Pada saat jatuh tempo nasabah wajib mengembalikan
modal ke bank baik dengan dicicil atau dilunasi seluruhnya.
2. Pembiayaan musyarakah
Yaitu pembiayaan sebagian dari modal usaha
pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya, pembagian keuntungan
ditentukan dalam perjanjian sesuai dengan proporsi masing-masing pihak, yakni
antara bank dan nasabah penerima modal.
b.
Natural certainty
contracts (NCC)
Kedua belah pihak saling menukarkan aset yang dimilikinya, karena objek
pertukarannya barang maupun jasa harus ditetapkan di awal akad dengan pasti,
baik jumlah, mutu, harga dan waktu penyerahannya. Yang termasuk dalam kategori
ini adalah:
1.
Pembiayaan murabahah
Adalah pembiayaan untuk membeli barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan
pembeli. Contohnya pembelian alat-alat kedokteran.
2.
Istisna’
Pembiayaan istisna’ bentu pembiayaan manufaktur, industri kecil-menengah
dan konstruksi. Dalam pembiayaan ini kriteria barang pesanan harus ada
kejelasan mengenai jenis, macam, ukuran dan jumlah pesanan. Pembiayaan ini
dapat dilakukan dengan dua cara, pihak produsen ditentukan oleh nasabah atau
pihak nasabah yang menentukan produsen. Pelaksanaan tersebut ditentukan dimuka
dan dicantumkan dalam akad berdasarkan kesepakatan.
3. Salam
Pembiayaan berjangka pendek untuk produksi
agribisnis atau industri jenis lainnya. Harga jual yang disepakati harus
dicantumkan dalam akad, apabila hasil produksi yang diterima cacat maka
produsen harus bertanggungjawab dengan cara mengembalikan dana yang telah
diterima atau mengganti dengan barang yang sesuai.
4. Ijarah
Transaksi ijarah adanya perpindahan manfaat bukan perpindahan kepemilikan.
Mekanismenya, nasabah menyerahkan uang sewa kepada bank yang telah menyediakan
barang sewaan. Sedangkan pemeliharaan atas barang sewaandilakukan berdasarkan
hasil kesepakatan.
c.
Produk Jasa (service)
1. Rahn
Produk ini disediakan untuk membantu nasabah
dalam pembiayaan multiguna, bank hanya mendapatkan imbalan atas penyimpanan,
pemeliharaan, asuransi dan administrasi barang yang digadaikan.
2. Wakalah
Nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk
mewakili dirinya melakukan pekerjaan atau jasa, seperti inkaso dan transfer
uang. Pemberian kuasa dapat berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dan
bank.
3. Kafalah
Bank memberikan garansi kepada nasabah, produk
ini disediakan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Atas
pekerjaan yang dilakukan bank, maka bank akan mendapatkan imbalan (fee).
DAFTAR PUSTAKA
Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma
Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006
Adiwarman Karim, Bank Islam; Analisis
Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah,
Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah;
Studi Tentang Teori Akad Dalam Fiqih Muamalat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
[1]
Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni
Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006) hlm.45
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Ibid, h.1
[5]
Adiwarman Karim, Bank Islam; Analisis
Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) hlm.65
[6]
Ibid.
[7]
Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) hlm.35
[8]
Ibid.
[9]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian
Syari’ah; Studi Tentang Teori Akad Dalam Fiqih Muamalat, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010) hlm.48
[10]
Ibid.
[11]
Ibid, h.95
[12]
Ascarya, Akad dan.....,h.35
[13]
Anwar, Hukum Perjanjian.....,h.97
[14]
Ibid,h.108
[15]
Ibid,h.97
[16]
Ascarya, Akad dan.....,h.35
[17]
Anwar, Hukum Perjanjian.....,h.191
[18]
Ibid.
[19]
Ibid, h.83-92
[20]
Ibid,h.83
[21]
Ibid,h.87
[22]
Karim, Bank Islam.....,h.66
[23]
Ibid.
[24]
Ibid.
[25]
Ibid.
[26]
Ibid,h.70
[27]
Anwar, Hukum Perjanjian.....,h.82
[28]
Karim, Bank Islam.....,h.97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar